IHRAM.CO.ID, ISTANBUL -- Kota kuno Istanbul merupakan ibu kota ekonomi dan kota terbesar di Turki. Daerah ini telah didapuk menjadi ibu kota banyak kerajaan, termasuk Romawi (yang menamakannya setelah kaisar Konstantin), Bizantium dan Ottoman.
Berlokasi di antara Eropa dan Asia, Istanbul telah lama menjadi tujuan para pelancong. Tetapi, di balik kapal pesiar atau pasar kuno yang letaknya jauh ke pedalaman, Istanbul menyimpan sebuah kekayaan warisan budaya. Seperti yang dikatakan oleh yayasan budaya yang berbasis di Istanbul, Hrant Dink, banyak hal dari kota ini yang masih tersembunyi dan belum terungkap.
Dilansir di Middle East Eye, Jumat (13/11), untuk mengatasi hal ini, Hrant-Dink telah meluncurkan aplikasi seluler bernama KarDes, awal tahun ini. KarDes berarti "saudara" dalam bahasa Turki dan "peta" dalam bahasa Armenia.
Aplikasi ini dirancang untuk membantu pengguna menemukan kembali bangunan penting bagi komunitas Armenia, Yunani, serta Yahudi di Istanbul. Mengingat Istanbul saat ini berpenduduk 16 juta orang, sangat mudah melewati sebuah bangunan bersejarah dalam kehidupan sehari-hari tanpa menyadarinya.
"Anda melihat bangunannya, tetapi Anda tidak tahu ceritanya. Hal seperti itu tidak terlihat," kata Koordinator Penelitian KarDes, Rudi Sayat Pulatyan.
Kota yang membentang, melintasi Selat Bosporus di antara Laut Marmara dan Laut Hitam ini dulunya merupakan perpaduan budaya serta konflik yang mengemuka selama dua perang dunia. Efeknya, populasi Armenia, Yunani dan Yahudi di Turki modern semakin berkurang.
Meski 32 negara telah mengakui pembunuhan massal lebih dari satu juta orang Armenia oleh pasukan Ottoman merupakan bentuk genosida, Turki mengatakan pembunuhan itu bukan bagian dari kampanye sistematis.
Banyak orang Armenia yang tetap di Turki berpindah dari Kristen ke Islam pada tahun-tahun berikutnya, untuk menghindari penganiayaan. Populasinya sekarang antara 50.000 hingga 60.000 orang, dengan mayoritas orang Armenia tinggal di Istanbul.
Etnis Yunani telah tinggal di Anatolia, daratan Turki di benua Asia, sejak sebelum Alexander Agung. Tetapi, setelah kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia 1, upaya membagi bekas kekaisaran oleh sekutu barat menyebabkan perang tiga tahun dengan Yunani, yang telah dijanjikan sebagai bagian dari pantai Anatolia.
Pemaksaan pertukaran populasi diuraikan selama Perjanjian Lausanne 1923. Kondisi ini membuat lebih dari satu juta populasi Ortodoks Yunani Turki harus bermukim kembali di Yunani.
Dan pada tahun 1955, menyusul berita yang menyindir bahwa orang Yunani telah menanam bom di konsulat Turki di Yunani, sebuah pogrom anti-Yunani terjadi di Istanbul. Pogrom ini menewaskan belasan orang dan memaksa ribuan orang Yunani melarikan diri dari Istanbul.
Saat ini, kurang dari 2.000 orang Kristen Yunani masih tinggal di kota. Bagi penduduk Yahudi Turki, yang memiliki hubungan alkitabiah dengan Anatolia timur, mereka mulai berimigrasi setelah Republik Turki didirikan.
Dalam upaya mempromosikan identitas Turki yang bersatu, Kebijakan Pemukiman Kembali 1934 memberlakukan kembali pemukiman kolektif dan asimilasi paksa non-Turki. Termasuk di dalamnya memasukkan Yahudi ke dalam budaya Turki.
Serangkaian serangan kekerasan di tahun yang sama terhadap beberapa populasi Yahudi terjadi di negara itu, termasuk di wilayah Thrace. Hal tersebut menyebabkan ribuan orang Yahudi melarikan diri ke Istanbul dan sekitarnya.