IHRAM.CO.ID, LONDON -- Pasangan Muslim yang tinggal di London, Inggris, yang menggunakan aplikasi sholat Islami populer Muslim pro mengancam akan melakukan tindakan hukum terhadap perusahaan tersebut. Hal itu setelah terungkap bahwa data pengguna aplikasi tersebut jatuh ke pihak ketiga, termasuk kontraktor pertahanan dan militer Amerika Serikat.
Awal bulan ini, terungkap bahwa pengembang aplikasi smartphone Islami yang berbasis di Singapura itu menjual data penggunanya ke perusahaan teknologi lokasi bernama X-Mode, yang kemudian dilaporkan menjual informasi tersebut kepada pihak yang berkepentingan.
Atas hal itulah, pasangan Muslim di London melayangkan kecaman terhadap Muslim Pro. Najah al-Mujahed dan Baraa Shiban pada Senin (23/11) lalu mengirim surat resmi yang mengancam akan melakukan tindakan atas penyalahgunaan data lokasi mereka setelah mendengar tentang penyalahgunaan privasi tersebut.
Dalam surat resmi yang dilihat oleh Middle East Eye, pengacara pasangan tersebut mengatakan bahwa Mujahed dan Shiban sangat prihatin lantaran Muslim Pro tidak memiliki dasar hukum untuk memproses data pribadi mereka. Dikatakannya, pasangan tersebut tidak menyetujui data mereka dibagikan dengan para pihak ketiga yang tidak ditentukan.
"Yang paling memprihatinkan, adalah bahwa mereka tentu saja tidak menyetujui data mereka diproses dengan cara yang melibatkan risiko atau transmisi selanjutnya ke pihak ketiga mana pun yang memiliki hubungan akhir dengan penegakan hukum dan/atau badan keamanan seperti militer AS," demikian bunyi surat tersebut, dilansir di Middle East Eye, Sabtu (28/11).
Mujahed dan Shiban juga telah menyuarakan keprihatinan tentang penyalahgunaan tersebut. Apalagi mereka memiliki pekerjaan sensitif di ranah diplomasi dan hak asasi manusia internasional, yang terkadang mengharuskan mereka untuk melakukan perjalanan ke negara-negara yang berpotensi berisiko di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
"Kami berdua bekerja di bidang hak asasi manusia dan kerap melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk melakukan pekerjaan kami. Jadi kami sangat prihatin bahwa jutaan pengguna Muslim Pro, seperti kami, tidak tahu bahwa data lokasi kami berpotensi melewati jaringan perantara yang curang ke militer AS," kata mereka kepada Middle East Eye.
Shiban adalah seorang pakar asal Yaman yang telah bekerja sebagai penyelidik hak asasi manusia di NGO Reprieve, dan merupakan mantan penasihat politik di kedutaan Yaman di London. Sementara Mujahed adalah penasihat inklusi, perlindungan dan gender untuk badan amal Islamic Relief yang berbasis di Inggris.
"Ini tentang kepercayaan. Apakah Anda ingin tahu setiap gerakan Anda dilacak oleh militer AS?" kata keduanya.
"Bayangkan sejenak kita bertemu dengan sumber sensitif, aktivis demokrasi atau orang yang memberikan informasi tentang serangan pesawat tak berawak, atau masalah lain di mana seseorang tidak ingin pemerintah mengetahui keberadaan mereka," lanjutnya.
Mereka mengatakan, gagasan bahwa mereka sedang dilacak membuat mereka khawatir bahwa mereka juga berpotensi mengungkapkan keberadaan beberapa sumber, yang kepercayaan dan kerahasiaannya mereka andalkan. Pasangan itu mengatakan, bahwa laporan itu mengejutkan mereka dan sekarang mereka mempertanyakan apa lagi yang telah dilakukan dengan data mereka.
"Kami datang dari Yaman, sebuah tempat di mana AS dengan amat sayang telah berkontribusi pada penderitaan rakyat kami melalui perang yang salah arah melawan teror selama bertahun-tahun. Tetapi fakta bahwa ini terjadi tanpa sepengetahuan kami juga membuat kami bertanya-tanya siapa lagi yang diizinkan untuk mengganggu ponsel kami melalui aplikasi?" lanjut keduanya.
Pengacara Mujahed dan Shiban telah meminta perusahaan tersebut untuk mengklarifikasi bagaimana mereka memproseh informasi orang dan nama semua penerima pihak ketiga yang datanya telah diungkapkan, serta tanggal di mana aplikasi tersebut mulai membagikannya dengan pihak ketiga.
Mujahed dan Shiban juga menyerukan umat Islam untuk menuntut agar aplikasi tersebut berhenti mengakses dan menjual data mereka. Menurut mereka, umat Muslim perlu menuntut secara kolektif, agar perusahaan aplikasi tersebut menghormati dan menghargai kepercayaan penggunanya. Di samping, berhenti menganggap akses ke data mereka dapat dijual tanpa sepengetahuan mereka.
"Saya pikir terkadang kami diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, karena orang menganggap kami tidak akan membela hak kami. Itu tidak benar," tambah mereka.
Sementara itu, Cori Crider, direktur Foxglove, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di London yang didirikan untuk memastikan bahwa teknologi adil untuk semua pengguna, mengatakan bahwa mereka mendukung tindakan hukum pasangan Muslim tersebut.
Crider mengatakan, mereka telah mengambil kasus ini karena dapat menjelaskan bagian pasar data yang sangat tidak diatur. Menurutnya, Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) jelas bahwa mereka tidak dapat melakukan apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini. Tetapi perusahaan berpikir mereka dapat memperdagangkan data lokasi secara bebas karena hukum berada di bawah penegakkan.
"Sangat mengerikan melihat jutaan Muslim, sebuah kelompok yang hidup di bawah pengawasan konstan, bahkan tidak dapat mempercayai aplikasi yang mereka gunakan untuk sholat lima waktu. Jika perlu litigasi untuk memperbaikinya, itulah yang akan kami lakukan," kata Crider dalam pernyataan yang dikirim ke Middle East Eye.