IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, perkawinan anak harus menjadi perhatian semua pihak. Sebab, jika dibiarkan akan berdampak panjang dan tersistem bagi anak yang terlibat perkawinan ini.
Perkawinan anak akan menyebabkan kondisi sulit bagi anak, baik putusnya pendidikan, kerentanan kesehatan reproduksi, kerentanan kehidupan keluarga, hingga berdampak pada stunting dan kemiskinan yang berkelanjutan. Perkawinan anak berdampak bagi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang.
Pengesahan Undang-Undang Nomer 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Perkawinan merupakan momentum baik untuk mencegah praktik perkawinan anak. Selain itu, peraturan ini juga membuat mekanisme kehadiran negara mencegah perkawinan anak melalui aturan dispensasi kawin.
"Selain menjaga agar teknis pelaksanaan dispensasi kawin berjalan sebagai upaya perlindungan anak, upaya pencegahan lainnya mulai dari pembuatan kebijakan, program dan penganggaran khususnya kabupaten/kota hingga ke desa/kelurahan, pencegahan perkawinan anak yang tidak tercatat, hingga pembentukan tim pencegahan dan penanganan perkawinan anak harus ada," kata Rita, dalam keterangannya, Jumat (4/12).
Angka prevalensi perkawinan anak di tahun 2019 adalah 10,8 persen dengan target 8,74 persen pada tahun 2024. Sedangkan angka permohonan dispensasi kawin dari BADILAG RI, Januari-Juni 2020 sebanyak 49.684, padahal di tahun 2019 berjumlah 29.359.
Kenaikan usia perkawinan dalam UU Perkawinan tentu akan ada peningkatan jumlah permohonan dispensasi kawin. Hal ini, menurut Rita harus dimaknai positif sebagai bentuk ketertiban hukum dan memudahkan pendampingan.
Sedangkan selama pandemi dilaporkan adanya perkawinan usia anak karena situasi kerentanan ekonomi keluarga, situasi pengasuhan dan pendidikan selama pandemi, serta potensi melanggar norma susila dan agama. Situasi tersebut akhirnya mendorong orang tua menikahkan anak mereka.