IHRAM.CO.ID, JAKARTA --Di masa pandemi Covid19 yang masih meluas, masyrakat terus dikejutkan penangkapan pejabat yang diduga melakukan tindak korupsi. Bahkan, ada yang membuat publik makin terhenyak, kini setelah korupsi dalam kasus benur (bibit) udang, kini muncul dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang lagi terhempas parah karena pandemi.
Meski begitu, Ahmad mengakui, memang juga tidak ada dalil yang secara langsung menyebutkannya seperti istilah korupsi sama halnya syirik, zina, minum khamar dan lainnya.
Ahmad mengatakab, pidana berat kepada pejabat yang melakukan tindakan korupsi bila dilihat dari hukum Islam maka bisa digolongkan sebagai bentuk perbuatan khianat. Sebab, pejabat yang korupsi sebelumnya telah diberi amanah dari rakyat untuk menjalankan tugasnya dengan anggaran yang telah ditetapkan.
Ustaz Ahmad menerangkan, korupsi sedikit berbeda dengan delik pencurian. Karena ada syarat bahwa pencuri itu bukan orang yang punya akses ke tempat uang. Artinya, uang atau harta itu disimpat di tempat yang aman, lalu pencuri sengaja menjebolnya, baik merusak pengaman atau mendobraknya.
Definisi pencurian yang disepakati para ulama umumnya adalah: "Mengambil hak orang lain secara tersembunyi (tidak diketahui) atau saat lengah di mana barang itu sudah dalam penjagaan/dilindungi oleh pemiliknya."
Secara hukum hudud, pencuri yang sudah memenuhi syarat pencurian, wajib dipotong tangannya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-Maidah: 38)
Dalam konteks itu, apakah hukuman bagi koruptor sama dengan hukuman pencurian? Ustaz Ahmad menjelaskan, delik hukum untuk pejabat yang korupsi sedikit berbeda dengan pencurian karena korupsi dilakukan oleh 'orang dalam'. "Namun bahwa dosanya besar, tentu saja tidak ada yang menentangnya," jelasnya.
Dalam hukum Islam, meski tidak ada nash Alquran dan Hadits tentang bentuk hukuman bagi pejabat yang melakukan tindakan korupsi, masih ada hukum ta'zir. "Sehingga asalkan sistem dan aparat hukumnya baik, pelaku korupsi tetap bisa menerima 'hadiah' hukuman setimpal. Bahkan bisa dihukum mati juga," terang Ustaz Ahmad.