Kamis 10 Dec 2020 05:11 WIB

Penembakan 6 Anggota FPI dan Pertaruhan Kepercayaan Polisi

Kepercayaan Polisi sebagai aparat profesional kini dipertaruhkan

Anggota Front Pembela Islam (FPI) mengadakan unjuk rasa untuk memprotes penembakan anggota mereka oleh polisi di Banda Aceh, Indonesia, 08 Desember 2020. Enam tersangka pendukung ulama Indonesia Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam , ditembak dan dibunuh dalam bentrokan dengan petugas polisi pada 07 Desember. 2020.
Foto:

Pertanyaan sederhana muncul dalam perspektif hukum yang mudah untuk dikemukakan: Apakah HRS, yang sedang diduga melakukan kesalahan berupa pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi Covid 19, layak untuk dikuntit, dikejar dan dihadang serta ditangkap di KM 57 ruas tol Cikampek oleh petugas kepolisian, sekalipun ada issu rencana pengerahan massa?

Kedua, kasusnya sendiri masih dalam penyelidikan, dan panggilan kepada HRS hanya panggilan klarifikasi, yang tidak ada konsekuensi hukumnya jika ia tidak hadir, berbeda kalau sudah masuk penyidikan dan pro justisia, maka akan berlaku ketentuan di KUHAP.

Mengapa HRS diperlakukan sama dengan tersangka pelaku kejahatan dengan pemberatan, seperti perampokan, curat, atau terorisme. Adakah alasan hukum untuk menangkapnya dalam perjalanan Senin dinihari tersebut? Jika tidak ada, untuk apa ia dikuntit?

Apakah HRS dan rombongannya adalah para tersangka pelaku kejahatan berat yang sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh polisi, namun karena melakukan perlawanan, terjadilah peristiwa penembakan terhadap para tersangka tersebut?

Jika tidak, inilah kesalahan substansial pihak aparat.

Mengapa polisi begitu agresif dan sigap membuntuti setiap aktivitas HRS? Apakah agresifitas polisi ini  inisiatif dari perintah pemimpin kepolisian di tingkat daerah ataupun pusat, yang ingin menunjukkan keberanian dalam bertindak, sebagaimana isyarat dari kriteria pemimpin Polri yang dikehendaki Presiden, yaitu berani, tegas dan tidak takut kehilangan jabatan?

Sayangnya keberanian ini disalahtafsirkan dan justru jadi blunder, karena berisiko menjadi berlebihan.

Keganjilan inilah yang menyebabkan munculnya tudingan sinis dan keras kepada kepolisian sebagai institusi negara. Peristiwa penembakan terhadap orang sipil yang menghilangkan nyawa enam anggota FPI tersebut dianggap merupakan bentuk kekerasan negara terhadap warga negara, serta dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), serta pelanggaran HAM berat.

Tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh petugas kepolisian bukanlah tanpa dasar regulasi yang ketat.

Pada masa masa sebelumnya,  tindakan kepolisian di lapangan secara terukur dan konsisten harus merujuk pada prinsip kepatutan dan proporsionalitas, setidaknya berdasarkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.

Ketika itu Kapolri Tito Karnavian yang mengarsiteki terbangunnya Kepolisian RI yang promoter (profesional, modern dan terpercaya) tidak memberikan ruang terjadinya peristiwa konyol seperti ini.

Polisi yang profesional tidak mungkin melakukan penembakan terhadap warga sipil yang tidak setara dengan pelanggaran hukum yang dilakukannya. Apalagi hingga menghilangkan nyawa warga negara secara sia-sia. Jika ini terjadi maka tidak ada alasan pembenarnya.

Aparat kepolisian dibolehkan menggunakan senjata api hanya terhadap mereka yang memiliki bukti cukup telah melakukan kejahatan berat dan melakukan perlawanan ketika hendak ditangkap, hingga dinilai membahayakan nyawa petugas.

Itupun harus melewati prosedur baku sebelum bertindak: yakni petugas harus menunjukkan identitasnya, memberikan peringatan, memberikan waktu kepada tersangka untuk menyerah, dan jika melawan barulah diberikan tembakan peringatan.

Dengan semua pertimbangan tersebut, maka patutlah untuk segera diungkap bagaimana sebenarnya kondisi riil yang terjadi di balik peristiwa penembakan terhadap keenam warga sipil anggota Laskar FPI pada 7 Desember kelabu tersebut. Tim independen perlu segera dibentuk dan mulai bekerja sejak sekarang.

Dunia kini sedang menyoroti negeri ini. Jangan sampai negeri kita dilabeli sebagai bangsa yang seenaknya merampas hak hidup warga negaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement