Senin 14 Dec 2020 05:40 WIB

Kisah Islamnya dr Tirta: dari Ateis Menjadi Mualaf

Ada satu peristiwa yang menimbulkan trauma mendalam bagi dr Tirta

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Elba Damhuri
dr Tirta, dari ateis menjadi mualaf
Foto: Dok Istimewa
dr Tirta, dari ateis menjadi mualaf

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Sejak wabah virus corona baru melanda Indonesia, berbagai elemen masyarakat tampil untuk berupaya mengatasinya. Di antara mereka adalah kalangan pemengaruh (influencer) yang memiliki banyak pengikut di dunia maya. Salah satu influencer yang aktif memberikan sosialisasi dan edukasi terkait protokol kesehatan Covid-19 ialah dr Tirta. 

Pemilik nama lengkap Tirta Mandira Hudhi itu menjadi seorang relawan penanganan Covid-19 di Tanah Air. Kepada Republika.co.id, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengaku senang karena dapat terlibat dalam gerakan-gerakan kampanye protokol kesehatan. Ia berharap, jerih payahnya bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.

Baca Juga

Lelaki 29 tahun itu teringat pesan seorang kiai yang pernah disampaikan kepadanya. Bahwa menjadi seorang dokter merupakan jalan pengabdian di tengah masyarakat. Sebab, kemampuan dokter dalam mendiagnosis penyakit dan menjaga kesehatan umum dapat memberi manfaat bagi sesama manusia.

Itu sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Di balik upaya dan kerja kerasnya, Tirta menampilkan sisi religius. Ia merupakan seorang Muslim, tetapi keislamannya berasal dari sebuah proses yang panjang.

Dalam arti, ia harus melalui berbagai pencarian sebelum akhirnya memeluk Islam. Pria berdarah Tionghoa itu menuturkan, dirinya lahir dari kedua orang tua yang berlainan iman.

Ayahnya merupakan orang Jawa dan Muslim. Adapun ibunya berasal dari keturunan Tionghoa dan non-Muslim. Masing-masing mereka bekerja di ranah yang berbeda. Sang kepala keluarga menjadi petani, sedangkan ibunda Tirta merupakan seorang karyawati bank.

Di keluarganya, Tirta merupakan anak semata wayang. Ia tumbuh besar dalam situasi yang serbaterbatas. Seisi rumah pun terbiasa hidup dalam kesederhanaan.

Terkait pendidikan agamanya, Tirta mengaku, sejak usianya masih anak-anak, dirinya mengikuti agama sang ibu, yakni non-Islam. Namun, lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, itu tidak begitu religius saat itu.

Ada satu peristiwa yang menimbulkan trauma mendalam baginya. Pada 1998 berbagai daerah di Tanah Air mengalami letupan-letupan sosial. Banyak orang yang tidak puas dengan kondisi ekonomi sehingga mudah terprovokasi dan menimbulkan kerusuhan. Di Solo, Jawa Tengah, ibunya terjebak dalam sebuah huru-hara. Saat itu, kantor bank tempatnya bekerja sudah terkepung api.

Pilihannya cuma ada dua, meninggal dibakar atau loncat. Ibu pilih loncat, kata Tirta M Hudhi saat dihubungi Republika.co.id, beberapa waktu lalu. Sejak saat itu, Tirta muda mulai memahami bagaimana kelompok etnis tertentu dapat menjadi sasaran amuk orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ia pun mulai sensitif terhadap isu-isu suku, ras, dan agama (SARA). Pada puncaknya, ateisme menjadi pilihan hidupnya.

Akibat terpaksa terjun dari lantai dua gedung tinggi, ibunya mengalami cedera cukup parah. Meskipun nyawanya selamat, Tirta mengenang, ibunya kemudian menjadi sakit-sakitan. Akhirnya, dokter memvonisnya mengidap penyakit tumor. Keadaan itu semakin membuat Tirta muda frustrasi. Dirinya kian tidak memercayai kasih sayang Tuhan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement