IHRAM.CO.ID, RIYADH – Undang-Undang Arab Saudi yang baru akan melindungi hak-hak perempuan dalam pernikahan. Termasuk dalam upaya mendaftarkan pernikahan maupun mengajukan perceraian.
Seorang warga Saudi yang enggan disebut nama panjangnya, Alfadl (27 tahun) mengatakan gagal menikah lantaran wali nikahnya, yakni pamannya menolak laki-laki yang dia suka. Pamannya menolak lamaran laki-laki tersebut lantaran berbeda suku dengannya.
“Saya kehilangan ayah ketika saya masih muda, dan paman saya menjadi wali saya, paman terus menolak lamaran yang saya terima karena laki-laki itu bukan dari suku kami, atau kelas elite,” kata Alfadl dilansir dari The National, Kamis (24/12).
“Ini tidak benar dan tidak dalam agama kami. Saya berjuang setelah menderita selama enam tahun dan memenangkan kasus saya tahun ini," sambungnya.
Dalam kasus serupa baru-baru ini, Pengadilan di Riyadh mencabut hak perwalian seorang ayah yang mencegah pernikahan putrinya. Perempuan muda itu mendesak pengadilan untuk mengalihkan perwaliannya ke otoritas Syariah, diwakili hakim.
Kementerian Kehakiman mengatakan pengadilan menyelesaikan prosedur hukum dalam waktu lima hari sejak perempuan tersebut mengajukan kasus. Dalam reformasi baru-baru ini, sebagai bagian dari program Visi 2030 Putra Mahkota Mohammed bin Salman, perempuan diberi lebih banyak hak otonomi.
Perempuan Saudi kini diperbolehkan mengemudi, mendaftar untuk menikah atau bercerai, mendapatkan akta kelahiran anak mereka dan menjadi wali sah anak-anak mereka setelah perceraian. Perempuan Saudi yang berusia di atas 21 tahun juga sudah diizinkan mengajukan paspor dan bepergian tanpa wali laki-laki.
Bayan Zahran, seorang pengacara Saudi, mengatakan telah terjadi kemajuan nyata dalam hak-hak perempuan dalam sistem peradilan, termasuk dalam kasus yang dikenal sebagai Adl, di mana perempuan dilarang menikah oleh wali laki-laki mereka. "Majelis Hakim Agung telah memutuskan bahwa kasus-kasus ini tidak boleh ditunda,” kata Zahran.
Menurut Zahran, hukum Saudi dibangun untuk melindungi perempuan yang bergantung pada wali laki-laki, dan untuk memastikan tidak dapat menyakiti mereka.
“Ada banyak kasus di mana perempuan, baik yang memperjuangkan hak asuh anak maupun untuk menikah, selalu dihalangi oleh wali laki-lakinya. Masalahnya adalah kebanyakan perempuan tidak tahu bahwa hukum menguntungkan mereka,” kata Layan Najdi, seorang konselor perempuan di Riyadh.
"Jika wanita dan walinya gagal untuk berdamai, hakim menyarankan perwaliannya dipindahkan ke kerabat sedarah lain, dan jika ini ditolak maka hakim sendiri yang mengasumsikan perwalian (berdasarkan) Pasal 33 dari Hukum Acara Hukum yang memungkinkan pengadilan sipil untuk campur tangan dan membantu," kata Najdi.
Tahun ini, Kementerian Kehakiman memberi perempuan hak hukum lebih lanjut, termasuk hak untuk hadir selama penyusunan kontrak pernikahan mereka, sehingga mereka dapat menyetujui persyaratan dan juga untuk memastikan bahwa mereka puas dengan calon pasangan mereka. Undang-undang baru memastikan perempuan dapat menandatangani kontrak tanpa paksaan.
Qais Bin Muhammad Mubarak, mantan anggota Dewan Cendekiawan Senior, mengatakan kehadiran seorang perempuan selama penyusunan kontrak pernikahan adalah haknya dan bahwa dia memiliki kewenangan untuk menunjuk wali khusus untuk tujuannya itu.
Pada September, Kementerian Kehakiman memperkenalkan layanan kontrak pernikahan elektronik secara online melalui situs web ezawaj.sa.
“Ini telah mengubah hidup kami, kami tidak pernah menyangka kami bisa menikah secara online,” kata Nida Hashim, 23, seorang pelajar di Jeddah yang menggunakan portal untuk melamar pernikahan.
"Pemerintah tidak hanya menemukan solusi bagi kami selama Covid-19, tetapi terutama bagi wanita yang menghadapi masalah dengan keluarga atau wali, yang kini memiliki prosedur yang lebih mudah dan tidak merepotkan," tambahnya.