Sabtu 26 Dec 2020 10:16 WIB

Radikalisme, Soal Mazhab: Mission Imposibble Menag Baru

Ada Mision Imposibble yang parut disadari Menag baru

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (kiri) bertukar naskah dengan mantan Menteri Agama Fachrul Razi saat serah terima jabatan di Kantor Kemenag, Jakarta, Rabu (23/12/2020). Presiden melantik Yaqut Cholil Qoumas menjadi menteri agama menggantikan Fachrul Razi pada periode sisa masa jabatan 2019-2024.
Foto:

Menijau misi kementerian agama tak dapat dihindarkan untuk menengok sejarahnya.

Keberadaan kementerian agama yang sebelumnya bernama departemen agama adalah bagian dari perjuangan umat Islam Indonesia sebagai kompensasi dihapuskannya tuntutan umat Islam agar dasar negara mencantumkan dalam sila pertama mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam yang dikenal dengan pagam Jakarta.

Sejarah tersebut perlu diingat karena memberikan pelajaran yang fundamental yang disumbangkan umat Islam untuk Indonesia.

Pertama umat Islam setuju konsep negara Indonesia bukan negara agama atau negara berdasar agama. Namun negara tidak terpisah sama sekali dengan agama.

UUD 45 menegaskan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya negara mengakui keberadaan agama yang diyakini warga bangsa Indonesia dan menjadi sumber nilai dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Negara menjamin kebebasan warga untuk memeluk, menyakni, memahami dan mengamalkan agamanya masing-masing.

Kedua. Meskipun negara bukan berdasarkan agama, namun bukan berarti negara tidak peduli dengan urusan umat beragama. Maka keberadaan kementerian agama adalah untuk mengurusi kebutuhan umat beragama dalam masalah agama, dalam kebutusan umat Islam ada kebutuhan pernikahan, Pendidikan, Haji dan Umrah, yang perlu dilayani oleh pemerintah.

Wahid Hasyim dalam catatannya sebagai wakil umat Islam yang ikut merumuskan dasar negara dan mengusulkan kemeterian agama menyatakan bahwa Kementerian agama menjadi simbol adanya hal mendasar mengenai jalan tengah antara konsep memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.

Berdasarkan misi historis di atas, maka secara tegas urusan agama tetap menjadi wilayah publik (otonomi masyarakat). Negara menjamin kebebasan masyarakat untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Karena negara tidak berdasarkan agama tertentu, maka tidak seperti Saudi Arabia misalnya, di mana negara menganut madzhab keagamaan tertentu dan dapat melarang madzhab keagamaan yang tidak sesuai dengan madzhab yang dianut negara.

Keberadaan MUI yang menjadi forum bagi ormas-ormas  Islam dari berbagai madzhab keagamaan menjadi wadah penting yang khas dalam konsep hubungan agama dan negara di Indonesia di satu sisi dan dalam merawat keragaman pemikiran dan pemahaman keagamaan.

MUI berdasarkan musyawarah mufakat berdasarkan kajian mendalam dari berbagai madzhab keagamaan yang dianut masyarakat Indonesia dapat mengeluarkan fatwa mengenai faham keagamaan tertentu yang dinilai menyimpang.M UI pernah membuat fatwa pada atahun 1980 yang diperkuat dengan fatwa pada tahun 2005 bahwa ajaran Ahmadiyah adalah sesat.  

 

                        

   

                        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement