IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Kepala Pusat Informasi Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab mengatakan bencana hidrometeorologi merupakan bencana menahun yang kerap terjadi, baik pada musim hujan, transisi, maupun kemarau.
"Pada musim hujan, berpotensi terjadi banjir, banjir bandang dan tanah longsor, di masa transisi biasanya ditandai hujan lebat pada periode singkat disertai angin kencang hingga hujan es," kata Fachri di Jakarta, Rabu (30/12).
Sedangkan di musim kemarau potensi bencana yang dihadapi berupa karhutla dan gelombang tinggi, tambah Fachri.
Antisipasi perlu dilakukan untuk menghadapi dampak bencana tersebut, terlebih lagi pada kuartal akhir 2020 hingga awal 2021, kondisi iklim global dihadapkan pada gangguan anomali berupa fenomena La Nina dengan level intensitas mencapai "moderate" di Samudera Pasifik ekuator.
Pemantauan BMKG terhadap indikator laut dan atmosfer menunjukkan suhu permukaan laut Samudra Pasifik ekuator bagian tengah dan timur mendingin minus 0,5 derajat celcius hingga minus 1,5 derajat celcius selama tiga bulan berturut-turut diikuti oleh penguatan angin pasat.
Berdasarkan analisis dinamika atmosfer dan prakiraan curah hujan bulanan, diprakirakan kondisi musim hujan hingga Maret 2021 akan bersifat normal sampai atas normal atau cenderung lebih basah dari biasanya atau bila dibandingkan dengan musim hujan tahun lalu.
Beberapa daerah diprakirakan mendapatkan peningkatan curah hujan 40 persen hingga 80 persen lebih tinggi dari curah hujan di tahun 2020, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Banten bagian selatan, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan Timur dan Utara, sebagian besar Sulawesi kecuali Sulawesi Selatan, Maluku dan Maluku Utara, Papua Barat, dan sebagian Papua.
Sebagai langkah antisipasi, BMKG mengeluarkan informasi cuaca dan peringatan dini, sehingga dapat menjadi acuan pemangku kepentingan untuk mengambil langkah pencegahan menghadapi ancaman bencana.
Fachri mengatakan BMKG menggunakan berbagai sumber data untuk membuat informasi cuaca, mulai dari data pengamatan dengan menggunakan Satelit, serta 42 Radar Cuaca, ribuan peralatan observasi secara digital yg terhubung dengan Internet of Things (IoT), hingga memperhatikan fenomena atmosfer global dan lokal.
Seluruh data tersebut diolah dengan Pemodelan Numeris secara "ensambel", untuk memberikan hasil prakiraan dengan resolusi 3 kilometer persegi hingga skala tapak, untuk seluruh kecamatan di Indonesia.
Prakiraan cuaca tersebut disajikan untuk periode 1-6 hari ke depan, dengan interval waktu tiap 3-6 jam untuk cuaca publik, dan interval waktu update untuk tiap 30 menit bagi cuaca penerbangan.
Bahkan, BMKG juga sudah menerapkan prakiraan cuaca berbasis dampak, sebuah perubahan paradigma layanan yang sudah memperkirakan faktor bahaya dan kerentanan.