Ahad 21 Feb 2021 08:59 WIB

Belajar dari Pengelolaan Wakaf Baitul Asyi' Aceh di Makkah

Wakaf orang Aceh di Masjidil Haram

Habib Bugak dan wakaf tanahnya yang kini jadi hotel di dekat Masjidil Haram.
Foto: google.com
Habib Bugak dan wakaf tanahnya yang kini jadi hotel di dekat Masjidil Haram.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika*

Di manakah para ulama besar dan orang Indonesia tinggal di Makkah pada masa lalu?  Pertanyaan inilah yang paling menggelayuti pikiran selama tinggal di Makkah beberapa tahun silam. Bertanya kepada para mukimin tetap saja sulit. Apalagi, bagi orang seperti mereka yang kebanyakan datang ke Arab Saudi hanya sekadar cari duit. Jangan harap akan bisa tahu soal-soal keberadaan para pendahulunya yang sudah ratusan tahun lebih dahulu tinggal di Makkah.

Namun, perlahan misteri itu terkuak. Ini berkat informasi dari seorang pria asal Palembang yang sudah 30 tahun lamanya tinggal di Makkah. Namanya Khudri. Dia pun peduli soal-soal ini karena merasa masih keturunan ulama besar Palembang yang pernah tinggal di Makkah, Abd al-Samad al-Palimbani.

"Para leluhur itu tinggal di kawasan yang disebut Rubath atau Zaqaq Jawa (rumah, kampung atau gang pendatang asal Nusantara dan Asie Tenggara yang kala itu lazim dipanggil sebagai orang Jawa). Sisa-sisa tempatnya masih ada dan beberapa anak keturunannya pun masih ada di sana," katanya. Ada juga yang menyebut zaqaq dengan panggilan rubath. Dua istilah ini hampir mirip dan sebangun.

Tak cukup memberitahu, dengan menggunakan mobil mewahnya, Khudri pun mengantarkan saya ke sebuah tempat yang berada di dekat jembatan layang Misfalah. Di seberang Hotel Falistine berdiri bangunan gedung yang disebut Burj al-Abbas. Menurut dia, di situlah area yang disebut Zaqaq Jawa.

"Tiga puluh tahun lalu, ketika saya baru datang pertama kali ke Makkah, di situ banyak tinggal keturunan orang-orang Jambi, Banten, Kalimantan Selatan, Palembang, Jawa, dan lainnya. Tapi, kini tinggal beberapa saja karena rumahnya sudah banyak yang dijual. Kini, masih ada seorang keturunan Muara Enim di sana. Namanya Abdul Hakim," kata Khudri.

Memang bila membayangkan seperti apa kira-kira suasana kampung Jawi (sebutan bagi orang Indonesia pada masa lalu di Arab), pada masa kini sangatlah sulit. Bangunan sudah berubah total menjadi gedung-gedung tinggi. Bayangan sebagai padang pasir pun tak terlihat. Tak ada lagi gundukan gunung batu atau padang pasir. Yang ada kini hanyalah kompleks gedung modern, sebuah terowongan, serta begitu banyak ruas jalan.

Tak jauh dari tempat itu, Khudri pun membawa kami ke depan sebuah gang yang dia sebut sebagai Rubath Jawa. Karena saat itu sudah malam, di sana terlihat banyak orang berpeci putih tengah duduk-duduk di atas permadani yang digelar di depan sebuah rumah. "Ya, itulah para penghuni Rubath Jawa. Mereka adalah para santri Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Makkah," ujar Khudri .

Keterangan dia makin nyambung ketika dia menggeser sedikit arah perjalanannya. Selang beberapa ratus meter dia menunjuk sebuah rumah besar yang ada di pinggir jalan. Dia kemudian menceritakan beberapa tokoh ulama besar yang pernah tinggal di situ. Salah satunya adalah pakar tasawuf dan mantan Menteri Agama, Said Agil Husin al-Munawar.

Khudri menuturkan, bila ditelusuri sebenarnya banyak sekali ikatan emosional antara orang Indonesia dan kawasan Makkah. Bahkan, harap diketahui hingga kini banyak sekali tanah wakaf milik para leluhur orang Indonesia yang menjadi kawasan Masjidil Haram. Lahan tanah yang kini berdiri Hotel Daarut Tauhiid, Grand  Zamzam, Hotel Hilton, dan pelataran Masjidil Haram sekalipun, sebenarnya banyak merupakan lahan wakaf orang Indonesia.

"Ingat, dahulu yang datang ke Makkah adalah orang-orang yang benar-benar kaya. Jadi, jangan heran kalau mereka punya lahan di sekitar Ka'bah. Tapi, sayang pihak ahli warisnya tak jelas lagi karena tanah itu kemudian diwakafkan ke Masjidil Haram," katanya.

Hasil gambar untuk Rubat Jawa Makkah

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Saudi sempat mencari anak keturunan orang Indonesia yang bernama Fatimah. Rencananya akan mendapat ganti rugi karena tanah wakaf leluhurnya dipakai untuk pelebaran pelataran Masjidil Haram dan Hotel Grand Zamzam. "Tapi, sayang tak ketemu, padahal jumlah ganti ruginya sangat besar," ujar Khudri.

Lalu, di manakah para orang Jawi dahulu belajar di Makkah? Khudri kemudian menunjuk ke sebuah lahan parkir Bus Saptco yang ada di samping Hotel Daarut Tauhiid. Lahan ini dahulu adalah Madrasah Shaulatiyah.

"Nah, di madrasah yang kini menjadi lahan parkir inilah para ulama besar, seperti KH Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Nawawi al-Bantani, Abd al-Samad al-Palimbani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi pernah menuntut ilmunya selama di Makkah."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement