IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan manusia untuk menjaga kebersihan dan kesucian hati. Bahkan hati harus dijaga dari macam-macam penyakit hati yang merusak manusia.
Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam menerangkan tanda matinya hati seseorang. Salah satu tandanya adalah tidak merasa sedih saat ketinggalan melakukan amal baik dan mengerjakan kewajiban. Serta tidak menyesal setelah berbuat dosa.
"Salah satu tanda matinya hati yaitu jika tidak merasa sedih atau susah karena ketinggalan melakukan suatu amal perbuatan baik dan kewajiban. Serta tidak menyesal jika telah berbuat dosa atau perbuatan melanggar." (Syekh Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam)
Terjemah Al-Hikam karya Ustaz Bahreisy menambahkan penjelasan perkataan Syekh Ibnu Atha'illah tersebut. Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Siapa yang merasa senang oleh amal kebaikannya dan merasa sedih atau menyesal atas perbuatan dosanya, maka ia seorang mukmin (beriman)."
Abdullahh bin Mas'ud berkata, "Ketika kami dalam majlis Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang yang turun dari kendaraannya kemudian mendekat kepada Nabi Muhammad SAW.
Ia berkata, "Ya Rasulullah, saya telah membuat lelah kendaraan saya selama sembilan hari, saya jalankan terus selama enam hari, tidak tidur di waktu malam dan puasa di siang hari. Keperluannya hanya untuk menanyakan kepadamu dua masalah yang merisaukan hatiku hingga tidak bisa tidur."
Rasulullah SAW bertanya, "Siapa kamu?" Jawabnya, "Zaidul-Khoir."
Rasulullah SAW berkata, "Zaidul-Khoir, tanyakan sesuatu yang sulit itu, aku sudah pernah ditanya soal yang sulit itu."
Zaidul-Khoir berkata, "Saya sekarang suka ke amal kebaikan dan orang-orang yang melakukan amal kebaikan. Bahkan suka dengan tersebarnya amal kebaikan itu. Bila aku ketinggalan berbuat amal baik, aku merasa menyesal dan rindu melakukan amal baik. Jika aku melakukan amal sedikit atau banyak, aku tetap yakin akan pahalanya."
Rasulullah SAW menjawab, "Ya itulah dia, andaikan Allah tidak suka kepada kamu, tentu kamu disiapkan untuk melakukan yang lain selain itu, dan tidak peduli di jurang mana kamu akan binasa."
Zaidul-Khoir menjawab lagi, "Cukup-cukup, lalu ia berangkat kembali setelah menaiki kendaraannya."