Kamis 11 Mar 2021 05:57 WIB

Masjid-Masjid yang Hilang di Kota Tua Suzhou-China

Dulu, Islam merupakan agama yang paling dihormati oleh Kaisar China.

Rep: Mabruroh/ Red: Esthi Maharani
Salah satu pemandangan di Kota Suzhou, Cina.
Foto: reuters.com
Salah satu pemandangan di Kota Suzhou, Cina.

IHRAM.CO.ID, BEIJING -- Labirin dan gang-gang di kota tua Suzhou banyak menyembunyikan rahasia. Termasuk, perjalanan panjang Islam tumbuh dan berkembang pesat di Tiongkok.

Dulu, Islam merupakan agama yang paling dihormati oleh Kaisar China. Khususnya di era dinasti Tang (618-907 M) , Yuan (1271-1368) , Ming (1368) -1644) dan dinasti Qing (1644-1912). Islam dipandang baik oleh istana kekaisaran karena etikanya dan selalu mempromosikan hubungan yang harmonis dan damai antara berbagai bangsa di wilayah kekaisaran.

Namun pada abad ke-19 di China barat terjadi pemberontakan Panthay dan Tungan. Saat itu jutaan Muslim dibunuh dan dipindahkan, Islam dianggap oleh misionaris Kristen di negara itu, khususnya oleh para sarjana Rusia sebagai ancaman.

Mereka takut Islam berkembang pesat di China dan menjadi agama nasional China dan akan menjadikan Tiongkok sebagai negara Islam terbesar di dunia.

 

Suzhou adalah kota tertua yang hidup dan kaya dengan 12 juta penduduk. Apa yang tersisa dari "Islam di Suzhou" adalah terletak tepat di luar tembok kota di barat laut. Saat ini hanya tersisa satu masjid di Taipingfang.

Dilansir dari The Conversation, Masjid di Taipingfang diperbaiki kembali pada 2018 dan merupakan tempat ibadah bagi muslim lokal dan Muslim yang berkunjung. Masjid tersebut berada di bagian lingkungan yang padat, berdesakan di antara gang kecil, di kelilingi oleh restoran dan hotel kecil, kedai makanan, dan tukang daging yang melayani Muslim Uighur dan Hui.

Sebelum 1949, Suzhou memiliki setidaknya sepuluh masjid dengan berbagai ukuran dan kepentingan sosial. Banyak dari mereka adalah bangunan besar dengan perabotan yang berharga dan dekorasi yang canggih, sementara yang lainnya adalah ruang shalat yang lebih kecil dan khusus. Salah satunya adalah masjid wanita yang diketuai oleh seorang imam wanita.

Masjid wanita, Baolinqian, adalah salah satu dari empat masjid yang dibangun selama Dinasti Qing. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1923, oleh tiga orang wanita dengan sumbangan dari keluarga muslim lainnya da  mengubahnya menjadi masjid khusus wanita.

Selama Revolusi Kebudayaan (1966 hingga 1976), perpustakaan masjid yang berisi kitab suci telah rusak dan bangunannya diubah menjadi rumah pribadi. Saat ini tidak ada yang tersisa yang dapat menunjukkan bahwa bangunan tersebut dahulu merupakan masjid wanita.

Masjid keluarga Yang lainnya, Tiejunong, dibangun selama tiga tahun pada masa pemerintahan kaisar Qing Guagxu, dari tahun 1879 hingga 1881. Masjid ini merupakan yang terbesar di Suzhou dengan luas lebih dari 3.000 meter persegi, dan memiliki tujuh halaman.

Aula utama untuk shalat Jumat memiliki sepuluh ruangan dan dapat menampung lebih dari 300 orang. Halamannya termasuk menara dan paviliun yang bertempat sebuah prasasti kekaisaran.

Saat ini masjid Tiejunong menjadi sekolah menengah namun ciri masjid masih dapat dikenali dari arsitektur luar dan pintu samping berukir kayu kuno. Di luar pintu masuk yang monumental, masih ada halaman utama yang dikelilingi pepohonan, masih ada area wudhu yang dilapisi ubin biru dengan jelas menunjukkan keberadaan masjid di masa lalu.

Selanjutnya, Masjid Tiankuqian yang dibangun pada tahun 1906 dan sekarang dihuni oleh penduduk kota miskin. Masjid ini dulu memiliki luas hampir 2.000 meter persegi, dengan aula utama, aula tamu, dan ruang wudhu.

Banyak masjid yang juga menyediakan sarana pendidikan untuk mengajarkan bahasa Arab dan tulisan Islam kepada anak-anak komunitas Muslim. Suzhou adalah salah satu pusat budaya pertama tempat kitab suci Islam diterbitkan dalam bahasa Cina.

Terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Mandarin dibuat oleh cendekiawan Suzhou abad ke-16 , Zhang Zhong dan Zhou Shiqi, menjadikan kota ini sebagai pusat awal budaya intelektual Islam.

Masjid tertua Suzhou, Xiguan, mengambil namanya dari jembatan Xiguan yang berdekatan di pusat kota tua. Dibangun pada abad ke-13 selama Dinasti Yuan, mungkin dibiayai oleh keluarga Sayyid Muslim terkemuka, dan gubernur provinsi berpengaruh Yunnan, Sayyid Ajall Shams al-Din Omar al-Bukhari (1211–1279).

Masjid tersebut kemudian dimasukkan ke dalam gedung pemerintah selama Dinasti Ming, jadi hanya catatan tertulis yang tersisa tentang keberadaannya dalam catatan Tiongkok setempat. Ini menunjukkan bahwa Dinasti Yuan lebih menyukai Muslim dari Asia Tengah dalam administrasi dan layanan pemerintahannya.

Kelompok populasi yang signifikan ini kemudian, pada 1950-an, diklasifikasikan di Tiongkok sebagai minoritas Hui dan merupakan sekitar setengah dari Muslim Tiongkok saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement