IHRAM.CO.ID, PARIS-- Parlemen Prancis dilaporkan akan melarang wanita Muslim menghadiri acara sekolah anak-anak mereka sambil mengenakan hijab. Pemakaian hijab disebut sebagai ancaman bagi semua hal yang diperjuangkan negara tersebut.
Aturan ini direncanakan akan disahkan awal pekan ini sebagai bagian dari "RUU Separatis". Sebuah larangan yang akan memengaruhi kehidupan perempuan Muslim dan partisipasi mereka dalam masyarakat bahkan pendidikan anak-anak mereka.
"Wanita Muslim secara bersamaan ditindas dan tunduk, tetapi juga mengancam status quo Prancis, keduanya sebagai akibat dari keislaman mereka," kata Dr Amina Easat-Daas dari Universitas De Montfort berbicara dilansir dari Turkish Radio and Television (TRT World), Jumat (2/4).
Dalam bukunya "Muslim Women's Political Participation in France and Belgium," East-Daas menemukan bahwa wanita Muslim di Prancis menghadapi rintangan dalam berpartisipasi dalam politik, seringkali karena afiliasi agama mereka. Hal ini semakin terlihat ketika akun tweeter resmi pemerintah yang terkait dengan Kementerian Dalam Negeri Prancis mengeluarkan sebelas kata-kata kasar yang menentang penggunaan kata Islamophobia untuk menggambarkan sentimen anti-Muslim.
Istilah islamofobia dituding adalah pemaksaan oleh Islamis untuk membungkam kritik terhadap Islam yang mengatakan bahwa akun tersebut secara salah mengaitkan penggunaannya dengan hasutan pembunuhan.
"Pemerintah Prancis menyangkal dan menolak istilah Islamofobia dan membangkitkan gagasan yang bisa dibilang jauh lebih samar tentang fungsi 'Islamisme' untuk menjelekkan dan membedakan Muslim Prancis di berbagai tingkatan," kata East-Daas.
Tahun lalu merupakan tahun yang sulit bagi 5,4 juta minoritas Muslim di negara itu. Setiap pekannya membawa serangan baru terhadap komunitas Muslim ditambah pemilihan presiden 2022 sudah dekat. Pemerintahan Emmanuel Macron semakin terkepung dan ingin mengarahkan percakapan ke arah politik identitas. Salah urus pandemi Covid-19 di negara itu dan peluncuran vaksin yang cacat telah berdampak pada peringkat jajak pendapatnya yang bisa membuatnya kalah dari pemimpin sayap kanan Marie Le Pen.
Di masa lalu, Macron mengaku ingin melawan rasisme dan diskriminasi anti-Muslim. Namun mereka malah menakut-nakuti dan menstigmatisasi Muslim yang membuat sentimen anti-Muslim tersebar luas.
“Diskriminasi sekaligus secara langsung menghasut dan memelihara praktik diskriminatif yang menargetkan Muslim dan juga sebuah wacana sosial-politik yang secara langsung mendiskriminasi dan sebaliknya Muslim Prancis tidak koheren," kata East-Daas.