Pihak konsulat telah menjalin relasi dengan kelompok penunjuk jalan calon hajiyang disebut syekhdi Makkah. Dengan mengandalkan para syekh itu, diundanglah sejumlah alim ulama dari kota kelahiran Rasulullah SAW.
Alasannya, ada seorang sarjana muda Belanda yang baru saja tiba di Jeddah. Pemuda cerdas ini ingin berdiskusi dengan ulama-ulama Makkah untuk menyelesaikan studinya tentang agama. Maka, terjadilah pertemuan yang telah dirancang itu. Abdul Ghaffar alias Christiaan berbicara panjang lebar. Secara implisit, ia menunjukkan keluasan pengetahuannya mengenai Islam.
“Maka, para tamu dari Makkah menerangkan bahwa sikap Snouck Hurgronje (Abdul GhaffarRed) terhadap agama Islam sudah jelas bagi mereka. Kata mereka, 'Kami merasa bahwa Anda seorang di antara kami.' Dengan jalan ini, terbukalah baginya jalan ke Makkah,” tulis Gobee.
Christiaan tak sekadar melaksanakan perintah. Ia pun ikut menggodok konsep misi rahasia ini. Pertemanannya dengan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, seorang pelajar di Makkah, pun bagian dari skenarionya. Anak keturunan bang sawan Sunda itu difungsikannya sebagai informan.
Dengan tugas ini, Christiaan tampaknya hendak mengikuti jejak orientalis Ignac Goldziher (1850-1921). Sarjana itu merupakan pemeluk Yahudi yang taat hingga akhir hayatnya. Pada 1870-an, ia diterima sebagai murid para syekh di Masjid al- Azhar, Kairo. Hal itu sukar terjadi bila orang-orang setempat tak memercayainya sebagai Muslim tulen.
Namun, tak seperti Goldziher, Christiaan lebih suka me nyebut dirinya pengamat, alih-alih partisipan, saat berada di tengah komunitas Muslimin. Maknanya, ia lebih suka berjarak, sekalipun sudah mengaku sebagai orang Islam. Kesan yang tim bul, dia sebagai subjek peneliti, sedangkan masyarakat yang diteliti hanyalah objek belaka.
Lebih lanjut, seperti diterangkan Kevin W Fogg dalam Seeking Arabs but Looking at Indonesians: Snouck Hurgronje's Arab Lens on the Dutch East Indies (2014), orientalis tersebut mengalami bias Arab.
Selama di Tanah Suci, Christiaan cenderung timpang dalam menggambarkan orang-orang Jawi nusantara yang bermukim atau jamaah haji di sana. Baginya, mereka lebih inferior daripada Arab, baik dalam hal keagamaan maupun profan.
Dalam sebuah catatannya, Christiaan menuturkan, suatu kali ia dan kawannya berjalan di Masjidil Haram. Ia mendapatkan kesan, sedikit sekali orang Jawi yang menjadi pengajar di sana. Seorang warga Makkah menyebut nama Syekh Zainuddin dari Sumbawa.
Secara implisit, orientalis ini menghakimi, hanya satu orang syekh dari nusantara yang mengajar di Kota Suci, padahal begitu banyak umat Islam dan jamaah haji asal kepulauan tropis itu.