REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu sifat Allah Swt adalah ar-Razzaq, yaitu Maha Pemberi Rezeki. Allah lah memberikan rrzeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Firman Allah, "Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan (bagi siapa yang Dia kehendaki)," (QS ar-Ra'd [13]: 26).
Selain itu, di dalam Alquran juga disebutkan,
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ
"Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (QS Az-Zariyat [51]: 58).
Rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya tersebut bermacam-macam. Ulama Turki, Badiuzzaman Said Nursi menjelaskan bahwa rezeki terbagi dua. Pertama, yaitu rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang.
Dikutip dari buku Nursi yang berjudul //Misteri Puasa, Hemat dan Syukur// pada Senin (3/5), rezeki yang pertama tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat 58 surat Az-Zariyat di atas.
"Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya," kata Nursi.
Kedua, rezeki majasi. Menurut Nursi, orang yang menyalahgunakan rezeki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain).
Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Menurut Nursi, harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan, meskipun dengan mencium kaki orang.
"Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kesucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi," jelasnya.
Selanjutnya, kata dia, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih—jika masih memiliki hati nurani—sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit.
Pada zaman yang aneh ini, menurut Nursi, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan. Sebab, ada kaidah yang berbunyi:
"ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺗُﻘَﺪّﺭ ﺑﻘﺪﺭﻫﺎ"
“Darurat dihitung sesuai kadarnya.”
Atas dasar itu, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu. Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang. Tetapi, menurut Nursi, ia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar.