IHRAM.CO.ID, Sunyi sepi, dengan hembusan angin sepoi-sepoi membuat tumbuh-tumbuhan bak menyambut langit biru yang diiringi awan putih berarak. Hijau pepohonan menyegarkan mata dan suasana.
Riak air sungai yang mengalir menambah suasana syahdu perjalanan menggunakan perahu motor mengarungi Sungai Tamiang dari Kampung Pusung Kapal, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
Perjalanan liputan aku kali ini bersama tim konservasi alam Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia (YSCLI) yang bekerjasama dengan PT Pertamina EP Field Rantau Aceh menuju tempat konservasi satwa bernama Tuntong atau Tukik di pantai Ujung Aceh Tamiang.
Satwa yang masih famili Kura-Kura ini memiliki nama beken Batagur Borneoensis yang muncul dari Sungai Tamiang untuk bertelur di sepanjang Oktober hingga Februari di pantai Ujung Aceh Tamiang yang tak mudah dijangkau.
Perjalanan yang ditempuh dengan perahu motor selama dua jam dari Kampung Pusung Kapal itu harus mengarungi arus Sungai Tamiang yang cukup kencang dan tambah mencekam saat tiba-tiba awan kelabu diselingi turun hujan yang cukup deras. Semakin mencekam sejauh mata memandang, dari permukaan air sungai terlihat cukup banyak buaya dengan tatapan mata memandang ke arah lajunya perahu motor saat mendekati muara sungai yang mulai menyatu dengan laut.
Aliran air sungai muara terlihat tenang saat berbaur dengan air laut. Bahkan tampak banyak buaya muara berjemur di hamparan pasir putih pantai di Ujung Aceh Tamiang. "Jangan ada tangan atau kaki yang menyentuh air, buaya-buaya muara ini cukup ganas," ujar pengemudi perahu motor.
Selain buaya muara, aku juga melihat cukup banyak monyet-monyet bergelantungan dan berlompatan di pepohonan rindang di sepanjang Sungai Tamiang. "Buaya-buaya itu menunggu moyet-moyet yang jatuh ke sungai. Selain moyet, babi hutan menjadi santapan buaya. Kalau manusia, ada beberapa kali diterkam buaya," jelas pengemudi perahu motor.
Pelestarian Tuntong bukan merupakan pekerjaan rumah yang mudah, pendampingan intensif dilakukan sejak program berjalan hingga kini.
"Salah satu potensi permasalahan yang dijumpai adalah banyaknya limbah kayu apung (driftwood) yang berasal dari aliran sungai dan laut di pinggiran pantai sehingga menghambat Tuntong untuk bertelur saat musim telur tiba. Permasalahan ini kemudian dilihat sebagai peluang untuk menjadikan sampah kayu apung tersebut menjadi bahan kerajinan atau souvenir khas dari lokasi Kampung Pusung Kapal," pungkasnya.