Sebelum ada pelatihan, sebagian besar imam di Jerman menjalani pendidikan di luar negeri, utamanya Turki. Pembiayaan pelatihan ditanggung oleh Turki melalui Organisasi Islam-Turki (DITTIB) yang membawahi 986 masjid di Jerman. Sisanya datang terutama dari Afrika Utara, Albania, dan negara-negara bekas Yugoslavia.
Para imam ini hanya menetap di Jerman selama empat atau lima tahun dengan memanfaatkan visa turis. Sayangnya, para imam ini hanya mengetahui sedikit tentang budaya setempat.
“Para imam ini tidak berbicara bahasa anak muda, yang seringkali bahkan tidak mengerti bahasa Turki dengan baik,” kata Etin, yang lahir di Berlin dari imigran Turki.
“Sangat penting bagi para imam berhubungan dengan realitas masyarakat multikultural di mana orang Kristen, Yahudi, ateis, dan Muslim hidup berdampingan,” tambahnya.