Kamis 24 Jun 2021 06:03 WIB

Dikhianati: Kisah Tragis Penerjemah AS di Afghanistan

Warga lokal yang menjadi penerjemah tentara AS di Afganistan hidup dalam ketakutan

Keempat dari kiri, barisan belakang, Zabiullah Zyah, yang bekerja sebagai penerjemah untuk militer AS di Afghanistan selama kurang dari dua tahun antara 2010 dan 2012, berfoto bersama tim Penembak Jitu Marinir AS dan Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan di sebuah pos pemeriksaan dekat kota Marjah, provinsi Helmand.
Foto:

Musim panas telah tiba akhirnya

Ameen masih kecil ketika ayahnya terbunuh selama invasi Soviet ke Afghanistan pada 1980-an. Segera setelah itu, Ameen dan keluarganya – bersama dengan penduduk desa lainnya – melarikan diri ke Pakistan untuk menghindari kekerasan.

Dan tak lama setelah rezim Taliban digulingkan oleh Amerika pada tahun 2001 dan pemerintahan baru didirikan, Ameen, seperti jutaan pengungsi lainnya, kembali ke Afghanistan bersama keluarganya. Dia berusia kini berusia 25 tahun dan telah menghabiskan 17 tahun terakhir tinggal di sebuah kamp pengungsi di Pakistan, dengan hanya sesekali mengunjungi desanya selama musim panen.

Bersama dengan adiknya, ia melanjutkan studinya. Dia mengambil ujian universitas umum untuk masuk Universitas Kankor di Khost dan sangat gembira untuk mendapatkan nilai yang cukup untuk bergabung dengan kursus yang ayahnya ingin dia pelajari, yakni teknik.

Ameen senang dengan prospek dirinya bahwa dia mungkin dapat memainkan peran penting dalam rekonstruksi negaranya.

Seperti yang diingat Ameen sekarang, komunitas internasional datang, dengan segala senjata membara, dengan ide-ide demokrasi, supremasi hukum, pemilu, hak asasi manusia dan pemberdayaan perempuan.

Ketika Afghanistan keluar dari reruntuhan perang saudara selama beberapa dekade, tampaknya negaranya mengejar modernitas sebagai satu-satunya jalan ke depan. Pintu sekolah dibuka untuk anak laki-laki dan perempuan, jalan baru sedang dibangun, sistem operasi telepon mulai menyediakan layanan komunikasi. Kabul dan kota-kota besar lainnya tampak seolah-olah, “ bangkit dari musim dingin yang panjang dan keras, menuju berakhirnya musim panas tiba”, katanya.

Betrayed': The Afghan interpreters abandoned by the US | Public News

Seorang anggota militer Amerika berbicara dengan kepala polisi nasional Afghanistan regional menggunakan penerjemah pada tahun 2010 di pedesaan Distrik Dand, tepat di sebelah selatan Kandahar, Afghanistan [File: Chris Hondros/Getty Images]

Segera Ameen memulai studinya di universitas, pada awalnya, keluarga itu makmur. “Hidup kala itu baik, dan saya bisa mendapatkan cukup uang dari bertani sayuran untuk menghidupi keluarga saya dan sekaligus belajar,” katanya. Tetapi pada saat semester kedua dimulai, dia terus berjuang secara finansial. Keluarganya pun berkembang. Begitu juga jaringan jalan di Afghanistan.

Pada sisi lain rekonstruksi infrastruktur jalan yang rusak mengurangi waktu perjalanan antara berbagai bagian Afghanistan, tetapi juga membawa banjir barang produk murah dari negara-negara tetangga. Segera Afghanistan berubah menjadi negara berekonomi pengimpor. Akibatnya membuat petani kecil semakin keras berjuang untuk menjual komoditas mereka dengan harga yang kompetitif.

“Sepertinya semua orang telah meninggalkan pembelian produk lokal, karena yang diimpor telah dimodifikasi secara genetik – lebih baik dalam bentuk dan ukuran daripada produk buatan sendiri,” kata Ameen.

Akibat banjir produk impor murah, maka saat dia menyelesaikan semester kedua universitasnya di awal tahun 2004, Ameen, sekarang tenggelam dalam hutang. Tak hanaya itu dia pun  melihat bahwa keluarganya hampir tidak dapat bertahan hidup dengan pendapatan kecil yang dia dapat hasilkan dari bertani.

Dan karena ingin tinggal bersama keluarganya, ia menolak godaan untuk pindah ke Kabul, kota yang menjadi pusat lapangan pekerjaan. Di sana para pemuda dengan sedikit bahasa Inggris dan sedikit keterampilan komputer dapat memperoleh gaji tinggi dalam dolar AS dengan menjadi pekerja di organisasi non-pemerintah (LSM) internasional atau lembaga swadaya masyarakat.

Bahkan, bekerja di institusi militer AS adalah kala itu dianggap mempunyai pendapatan 'besar' atau yang tak terbayangkan bagi sebagian besar warga Afghanistan pada saat itu. Sebaliknya, ia pun kerap menghubungi teman-temannya yang sudah bekerja dengan militer AS di provinsinya.

Betrayed': The Afghan interpreters abandoned by the US | Conflict | Al  Jazeera

Keterangan foto: Seorang polisi Afghanistan berbicara dengan marinir AS bersama seorang penerjemah Afghanistan pada 13 Oktober 2010, di Kajaki, Afghanistan [File: Scott Olson/Getty Images]

Maka tak heran, pada pertengahan 2004, Ameen menemukan dirinya berada di gerbang Chapman Kamp Militer AS yang dibarikade dengan baik di provinsi Khost. Tujuanya untuk mencari pekerjaan.

“Ketika saya memikirkan kembali sekarang, itu adalah wawancara kerja termudah yang diharapkan siapa pun. Saya ditanya: 'Apakah Anda berbicara bahasa Inggris?' Ketika saya menjawab 'ya', saya diberitahu, 'Ok, besok adalah hari pertama Anda',” kenangnya.

Ameen jelas sangat gembira telah menemukan pekerjaan bergaji tinggi dalam dolar AS tanpa harus meninggalkan rumahnya. Dalam beberapa bulan, dia bisa mendapatkan apa yang biasanya hanya ada atau dihasilkan setibanya musim panen.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement