IHRAM.CO.ID, Muntahan peluru dan roket sahut menyahut di Imam Sajib, sebuah distrik strategis di utara Afghanistan, di dekat perbatasan Tajikistan. Pertempuran berkobar selama dua hari. Ketika debu peperangan perlahan surut, Syek Akram akhirnya memberanikan diri keluar rumah.
Di luar, dia mendapati tiga anak jiran telah meninggal dunia. Sebuah kendaraan lapis baja yang hangus terbakar dibiarkan teronggok di sebuah sudut jalan. Api masih menyala di sejumlah toko atau stasiun bahan bakar.
Dan di antara puing-puing kota, gerilayawan Taliban berpatroli membawa senjata. Akram menghitung jumlahnya mencapai 300 orang. Pasukan sebanyak itu cukup buat menaklukkan militer Afghanistan yang, menurut Akram, hanya berjumlah 100 serdadu.
Sebagian memilih desersi dan melarikan diri di tengah pertempuran, imbuhnya.
Keberhasilan Taliban merebut pos perbatasan Shir Khan Bandar yang bernilai strategis itu mencerminkan nafsu ekspansi kaum Islamis jelang penarikan mundur pasukan NATO September mendatang, dan ketika perundingan pembagian kekuasaan dengan pemerintah Afghanistan memasuki fase kritis.
Hampir saban hari, laporan kemenangan Taliban memenuhi siaran berita di Afghanistan. Ratusan kendaraan lapis baja dan beragam perlengkapan militer yang dihibahkan AS kepada Afghanistan saat ini dikabarkan ikut jatuh ke tangan kelompok etnis Pashtun itu.
Langkah darurat Kabul
Kawasan utara Afghanistan tidak hanya bernilai strategis, tetapi juga memiliki simbol politik lantaran dihuni dua etnis minoritas, Tajik dan Hazara, yang membantu invasi AS dan kini ikut memerintah di Kabul.
Pendudukan Imam Sahib juga menandai perluasan ekspansi Taliban yang sebenarnya berasal dari wilayah selatan dan timur Afghanistan. Di utara, kelompok Islamis itu tidak hanya menguasai pintu perbatasan utama ke Tajikistan, tetapi juga menguasai distrik Doshi yang menghubungkan Kabul dengan wilayah utara.
Menyambut ekspansi Taliban, pemerintah Afghanistan menyerukan Mobilisasi Nasional, dengan mempersenjatai penduduk lokal. Namun pemantau internasional mengkhawatirkan, para gerilayawan baru itu hanya akan tunduk kepada komandan atau "warlords" lokal.
"Bahwa pemerintah sampai harus mengaktifkan milisi-milisi bersenjata adalah bukti jelas kegagalan militer. Ini adalah langkah panik,” kata Bill Roggio, peneliti senior di wadah pemikir AS, Defense of Democracies.
"Militer dan kepolisian Afghanistan menelantarkan pos-pos terluar, pangkalan militer atau pusat administrasi distrik. Sulit membayangkan milisi-milisi yang tidak terorganisir ini akan lebih baik ketimbang sebuah angkatan bersenjata,” imbuhnya.
Di tengah kemerosotan moral pasukan pemerintah,Presiden AS, Joe Biden, bertemu dengan Presidan Ashraf Gani, Jumat (25/6) untuk membahas dukungan militer bagi Afghanistan. Biden telah mengajukan paket bantuan keamanan sebesar USD 3,3 miliar kepada Kongres dan menjanjikan bantuan kesehatan.
"Di masa ketika moral sedang ambruk dan situasinya cepat memburuk, apapun yang kami bisa lakukan untuk mengangkat moral dan mendukung pemerintah bukan hal sia-sia,” kata Ronald Neumann, bekas duta besar AS di Kabul. "Mengundang Ghani ke AS adalah sinyal yang kuat bahwa kita mendukungnya.”