Ahad 04 Jul 2021 05:03 WIB

Darurat Covid, Orang Indonesia Menangis Minta Tolong

Saat tindakan darurat COVID dimulai, orang Indonesia menangis minta tolong

Pekerja pemakaman kewalahan dengan beban kerja mereka saat jumlah kematian akibat virus corona meningkat
Foto: Al Jazeera
Pekerja pemakaman kewalahan dengan beban kerja mereka saat jumlah kematian akibat virus corona meningkat

IHRAM.CO.ID, Jakarta, Indonesia – Dari pagi hingga tengah malam, Suherman dan rekan-rekannya bekerja di bawah terik matahari. Mereka  menggergaji, mengampelas, dan mengecat papan kayu menjadi peti mati.

Ketika tindakan darurat COVID-19 dimulai pada hari Sabtu kemarin di pulau Jawa dan pulau wisata terpadat di Indonesia, banyak bisnis menjadi lebih sepi dari biasanya. Hal ini karena jutaan orang disuruh bekerja dari rumah. Tapi kesepian itu tidak terjadi di bengkel pembuatan peti. Meski letaknya berada sebuah luar ruangan di ibu kota negara kepulauan ini, Jakarta, tempat itu penuh kesibukan.

Dengan jumlah kematian COVID-19 meningkat, memang selalu ada kebutuhan mendesak untuk peti mati. “Kami sedang terburu-buru,” kata Suherman. “Orang-orang sedang menunggu peti mati, jadi kami harus bekerja cepat. Keluarga almarhum sedang menunggu,” tambahnya.

“Sebelum COVID, kami tidak perlu bekerja terlalu keras seperti ini. Saat itu kami bahkan tidak memiliki target berapa banyak yang harus kami hasilkan setiap hari. Tapi sekarang, kami harus bisa segera memenuhi permintaan itu,'' katanya lagi.

Di Jakarta, di pantai barat laut Jawa, para pekerja pemakaman dikerahkan sampai batas kemampuannya. Peti mati yang baru dibangun ditumpuk ke truk dan dikirim ke rumah sakit di sekitar kota. Karena beban kerja yang berlebihan, Suherman mendapatkan tambahan samai 30 dolar setiap bulan dibandingkan dengan sebelum pandemi.

"Saya tidak keberatan jika penghasilan saya berkurang. Saya hanya ingin COVID hilang," katanya. “Saya merasa sangat kasihan pada semua keluarga ini.”

photo
 
Keterangan foto: Di Jakarta Pusat, peti mati yang baru dibangun ditumpuk ke truk dan dikirim ke rumah sakit di sekitar kota [Jessica Washington/Al Jazeera]
 
Pada hari Sabtu lalu, Indonesia mencatat peningkatan harian yang memecahkan rekor hampir 28.000 kasus COVID-19, di mana hampir 10.000 di antaranya berada di Jakarta. Total korban tewas yang dikonfirmasi di negara itu, negara yang paling terpukul di Asia Tenggara, telah melampaui 60.000.
 
Para ahli memperingatkan bahwa angka-angka ini kemungkinan kecil karena tingkat pengujian yang rendah di negara itu.
 
Kementerian kesehatan mengatakan peningkatan penularan dipicu oleh mobilitas yang meningkat selama hari raya Idul Fitri, serta adanya varian Delta yang sangat menular dari virus corona, yang pertama kali terdeteksi di India.
 
Dihadapkan dengan krisis kesehatan yang meningkat, Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan pada hari Kamis lalu  serangkaian langkah-langkah penahanan virus corona, yang akan berlaku hingga setidaknya 20 Juli. Dia mengeluarkan aturan pembatasan, yakni tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan restoran akan tetap tutup, semua pekerja yang tidak penting harus bekerja dari rumah, dan pelancong domestik harus menunjukkan bukti vaksinasi dan hasil PCR.
 
“Situasi ini memaksa kita untuk mengambil langkah lebih tegas agar bersama-sama kita dapat memblokir penyebaran COVID-19,” kata Jokowi.
 
“Saya minta masyarakat tenang dan waspada. Taati peraturan, disiplin dalam mengikuti protokol kesehatan dan dukung kerja pemerintah.”
 
Aku merasa sendirian
 
Keganasan gelombang kasus Covid-19 saat ini telah mengubah kondisi ribuan keluarga selama-lamanya. Ini menimbulkan pertanyaan tentang berapa banyak nyawa yang bisa masih bisa diselamatkan jika tindakan darurat dan protokol yang lebih ketat diterapkan lebih cepat.
 
Munis Runawati, 36, dari Kudus, Jawa Tengah, kini telah kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu hanya satu pekan. Dia mengatakansangat terkejut dengan seberapa cepat kondisi mereka memburuk.
 
“Awalnya ibu saya. Dia kedinginan dan kemudian dia kehilangan suaranya. Kami tidak mengira itu COVID tetapi kemudian dia menjadi tidak responsif, ”katanya.
 
“Aku merasa sendirian sekarang. Sekarang mereka hilang, kita tersesat. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.”
 
Di luar toko oksigen di kawasan selatan Jakarta langka. Terjadi krisis di rumah sakit kota yang terlihat sangat jelas. Di antara mereka yang banyak yang rela datang mengantre demi orang-orang yang dicintainya. Banyak yang sakit dan membutuhkan perawatan terpaksa ditolak dari rumah sakit karena masalah kapasitas tak memadai lagi.
 
“Saya perlu isi ulang tangki oksigen ini karena ayah saya kesulitan bernapas,” kata Sari Anugrah sambil mengantri di luar.
 
“Dia belum diterima. Mereka terus menolak kami, bahkan di layanan unit gawat darurat sekalipun. Sekarang terserah rumah sakit untuk membawanya atau tidak. Jadi, kita harus merawatnya di rumah,'' keluhnya pasrah.
photo
Keterangan foto: Karyawan yang mengenakan masker pelindung mengisi ulang tabung oksigen di sebuah toko di tengah wabah penyakit virus corona di Banda Aceh, provinsi Aceh, Indonesia, Selasa (29/6). - (The Bangkok Post)
 
Bagi ahli paru seperti dr Erlina Burhan, bila dia memikirkan keluarga yang mati-matian berusaha merawat orang yang mereka cintai membuatnya “merasa ingin menangis”.
 
“Begitu banyak orang ingin dirawat dan diisolasi tetapi kami tidak memiliki cukup ruang,” kata dokter yang bekerja di Rumah Sakit Persahabatan, salah satu rumah sakit perawatan COVID-19 yang ditunjuk pemerintah.
 
“Beberapa staf juga telah positif COVID-19 dan mereka perlu istirahat dan karantina di rumah. Kami memiliki lebih sedikit staf sekarang, tetapi lebih banyak pasien. Ini sibuk. Ini menyedihkan,'' tukasnya lagi.
 
Meski menyambut baik langkah-langkah aturan darurat baru, Erlina mengatakan pemerintah harus melangkah lebih jauh. “Ini agak terlambat. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan saya ingin mengatakan, kita membutuhkan lebih dari apa yang ditawarkan,” katanya.
 
Tingkat hunian tempat tidur di rumah sakitnya kini sudah lebih dari 90 persen. Unit perawatan intensifnya pun dalam kapasitas penuh. “Orang-orang yang saya kenal menangis minta tolong. Mereka meminta tempat tidur untuk kerabat mereka. Tapi saya tidak bisa membantu. Ini firasat yang buruk," katanya.
 
“Bahkan dalam kelompok dokter kami, kami mengatakan, sebaiknya kami harus tidak sakit. Ini karena kami, bahkan tidak memiliki ruang di rumah sakit kami sendiri,'' kata dr Erlina Burhan.
 
 

sumber : Al Jazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement