Rabu 07 Jul 2021 06:31 WIB

KH Muhammad As’ad Al Bugisi, Pelopor Pendidikan Islam Tanah

Peran besar Dakwah Islam Anregurutta KH Muhammad As’ad Al Bugisi.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Subarkah
KH Muhammad As’ad Al Bugisi
Foto:

Melahirkan Penggerak Dakwah

Anregurutta Muhammad As’ad adalah seorang tokoh ulama yang sangat masyhur di Tanah Bugis. Hal itu ditandai dengan keberhasilannya dalam mewujudkan program-program yang dicanangkan dalam berbagai aspek, seperti aspek dakwah, pendidikan, dan tahfiz Alqur’an. 

Setelah pulang dari Makkah, Anregurutta As’ad tidak langsung pergi ke kampung halaman orang tuanya di Tosora, melainkan pergi ke Sengkang Wajo yang menjadi Pusat Kerajaan Wajo. Di daerah inilah ia memulai kiprahnya dengan mengajar di halaqah milik iparnya yang bernama Haji Sahabuddin (w. 1943). 

Selain itu, Anregurutta As’ad juga melakukan dakwah ke berbagai daerah, serta membongkar tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan dakwahnya, ia bersama santri-santrinya telah berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan berhala.

Pada 1930, ia kemudian membuka sistem pendidikan formal dalam bentuk madrasah di samping Masjid Jami Sengkang yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Madrasah ini lah yang menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren As’adiyah. 

Atas bantuan pemerintah Kerajaan Wajo bersama tokoh agama dan masyarakat, Anregurutta Muhammad As’ad kemudian mendirikan bangunan madrasah tersebut secara permanen. Melalui lembaga pendidikan inilah Anregurutta As’ad banyak melahirkan generasi ulama penggerak dakwah Islam pada paruh kedua abad 20 di Sulawesi Selatan. 

Di antara santri-santrinya yang menjadi ulama masyhur adalah Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle yang mendirikan Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) dan Anregurutta Daud Ismail yang mendirikan Pondok Pesantren Yasrib Soppeng. Kedua santri ini lah yang juga membantu Anregurutta As’ad mengembangkan MAI Sengkang.

Selain mendirikan pesantren dan madrasah, Anregurutta Muhammad As’ad juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an. Lembaga ini juga dipimpin langsung olehnya dan bertempat di Masjid Jami Sengkang.

Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang, Ilham Kadir dalam tulisannya menjelaskan, setidaknya ada lima tahapan dalam program pendidikan yang didirikan Anregurutta Muhammad As’ad di MAI Sengkang, yaitu Tahdiriyah tiga tahun, Ibtida’iyah empat tahun, I’dadiyah satu tahun, Tsanawiyah tiga tahun, dan Halaqah Khusus dan Praktik Lapangan tiga tahun. 

Pendidikan kader ulama tersebut bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Dengan demikian, maka akan lahir manusia yang bertakwa, berilmu, berakhlak mulia, serta bertanggung jawab atas pembangunan agama, bangsa, dan negara Republik Indonesia. 

Untuk mencapai tujuan itu, Anregurutta Muhammad As’ad juga membuka Majelisul Qurra’ Wal-Huffazh yang mengajarkan “Ilmu Duabelas” yang meliputi ilmu nahwu, sharraf, bayan, ma’ani, badi’, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, musthalah hadits, tauhid, dan mantiq. Selain itu, Ia juga mendidik para santrinya untuk membangun jaringan ulama agar kerja-kerja keumatan dapat dilakukan bersama.

Dalam menjalankan program pendidikannya, Anregurutta Muhammad As’ad lebih banyak menekankan pada aspek adab santri. Semua tingkah laku santri akan dinilai, mulai adab belajar, adab berbicara, mimik muka, cara memandang, cara tidur, cara belajar, cara bersikap dengan guru dan teman-teman, serta cara makan dan lainnya.

Semua aspek adab itu diukur dengan menggunakan standar nilai seorang ulama. Sebab, memang para santri dilatih sejak dini untuk menjadi ulama. Bahkan, Anregurutta Muhammad As’ad pernah mengusir dan memulangkan seorang santrinya hanya karena bercanda dan bermain-main waktu makan.

Dalam mendidik, Anregurutta Muhammad As’ad juga sangat menekankan pentingnya waktu. Para santri didik dengan disiplin waktu yang ketat. Karena, seorang santri tidak boleh menyia-nyiakan waktunya dalam menuntut ilmu. 

Dalam mendidik para santrinya, Anregurutta Muhammad As’ad bukan hanya menyiapkan mereka menjadi orang baik untuk diri sendiri. Tetapi, para calon ulama itu disiapkan untuk siap terjun ke masyarakat, untuk melakukan perubahan.

Karena itu, dibentuklah lembaga khusus yang diberi nama "Jama’ah Tabligh". Di lembaga itulah, para kader ulama diuji kemampuannya untuk terjun berdakwah di tengah masyarakat. Jamaah tabligh ini dipimpin langsung oleh Anregurutta Muhammad As’ad. 

Melihat sejarah perjuangannya, Anregurutta Muhammad As’ad memang terbukti sebagai seorang ulama dan pendidik yang hebat. Saat berusia 45 tahun, ia telah meninggalkan karya nyata dalam dunia pendidikan dan dakwah di Indonesia. Hingga kini, karya-karyanya masih terus dipelajari.

Konsep kaderisasi ulama yang menekankan pada disiplin penerapan adab masih tetap penting untuk diterapkan. Penghargaan terhadap waktu yang begitu tinggi juga patut untuk selalu diteladani. Begitu pula dalam hal ketekunan beribadah dan kegigihan menyebarkan Islam di tengah masyarakat. 

Selama terjun di dunia pendidikan, Anregurutta Muhammad As’ad telah mendidik dan mencontohkan bahwa pendidikan akan sukses ketika keikhlasan dan kesungguhan diterapkan. Namun, pendidikan akan rusak jika motif-motif duniawi sudah mendominasi dunia pendidikan. 

Setelah lama berdakwah lewat pendidikan, Anregurutta Muhammad As’ad akhirnya dipanggil Allah Swt pada 12 Rabiul Akhir 1372 H/ 1952 M di usianya yang ke-48 tahun. Sesaat sebelum wafat, ia sempat berwasiat agar madrasah dan pesantren yang didirikannya dilanjutkan pembinaannya oleh dua santri seniornya yang bernama AGH. Daud Ismail dan AGH. M. Yunus Martan.

Telah banyak jasa-jasa Anregurutta Muhammad As’ad terhadap negara dan bangsa ini. Karena itu, pada 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepadanya.

Mengenai kehidupan rumah tangganya, Anregurutta Muhammad As’ad menikah sebanyak empat kali selama hidupnya. Pertama, ia menikah dengan seorang gadis bernama Sitti Hawan di Makkah saat usianya 17 tahun. Dari penikahannya ini, ia dikarunia dua anak. 

Setelah pulang ke Tanah Air, ia menikah untuk kedua kalinya dengan seorang gadis Bugis bernama Syahri Banon dan melahirkan seornag putra bernama Muhammad Yahya. Pada 1933, ia menikah lagi dengan seorang wanita dari Pancana Baaru yang bernama Daeng Haya dan dikaruniai 10 anak. Sedangkan istrinya yang terakhir bernama Sitti Nuriyah dan tidak dikaruniai anak. 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement