Rabu 07 Jul 2021 13:16 WIB

Warga Sheikh Jarrah Hidup dalam Penjara Besar

Warga Sheikh Jarrah diliputi ancaman pengusiran paksa oleh Israel

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Warga Sheikh Jarrah  diliputi ancaman pengusiran paksa oleh otoritas Israel
Foto: Middle East Eye
Warga Sheikh Jarrah diliputi ancaman pengusiran paksa oleh otoritas Israel

IHRAM.CO.ID, YERUSALEM – Kehidupan warga Palestina di lingkungan Sheikh Jarrah diliputi ancaman pengusiran paksa yang terus terjadi. Mereka seakan dipenjara dalam rumahnya sendiri di bawah pengawasan otoritas Israel.

Di belakang gerbang rumah Saleh Diab, pecahan kaca dan batu dengan ukuran berbeda yang dilemparkan selama serangan, berserakan di sekitar halaman. Pasukan Israel secara teratur menargetkan rumah tersebut dengan meninggalkan sisa-sisa granat dan gas air mata.

“Saya berusia 51 tahun tapi rasanya saya telah hidup dalam kekhawatiran 1.000 tahun. Setiap hari saya menderita karena perlakuan pendudukan Israel sejak saya berusia 17 tahun. Sejak itu, saya telah ditahan sekitar 20 kali dan diusir dari Sheikh Jarrah lima kali,” kata Diab.

Kelelahan terukir di wajah Diab yang rumahnya dikelilingi oleh tiga pos pemukim. Pos pertama menghadap rumahnya yang dulunya milik keluarga Ghawi sebelum diambil paksa oleh pemukim Israel. Pos kedua terletak di sebelah kanan milik keluarga Kurgi yang sebagian rumahnya telah ditempati oleh pemukim Israel. Terakhir, pos ketiga, pos yang paling bermasalah. Terletak di belakang rumah Diab, rumah itu menjadi kuil suci Shimeon al-Siddiq yang dikunjungi banyak orang Yahudi untuk melakukan ritual Talmud.

Sepekan setelah keluarga Ghawi dipindahkan secara paksa pada tahun 2009, delapan keluarga lainnya di Sheikh Jarrah menerima perintah penggusuran untuk kepentingan pemukim Israel. Sejak itu, warga Palestina harus hidup dalam kondisi tragis tanpa keamanan dan stabilitas.

“Hal tersulit yang saya hadapi sejak itu adalah bagaimana nasib kami setelah penggusuran, termasuk masa depan anak-anak kami,” ujar dia.

Pada 16 Mei setelah dugaan insiden tabrakan mobil, polisi Israel menempatkan blok semen di tiga lokasi di sekitar lingkungan itu yang dilengkapi pasukan polisi militer yang berjaga setiap saat. Diab terpaksa menyimpan identitas pribadinya saat keluar, berjaga-jaga jika dia perlu pergi ke toko kelontong di pintu masuk daerahnya. Bagi dia, pos keamanan telah mengubah hidupnya menjadi neraka.

“Kami telah menjadi tahanan di rumah kami sendiri. Mereka (polisi Israel) memaksa kami untuk menunjukkan kartu identitas kami dan mengajukan pertanyaan seperti interogasi, kapan pun kami harus pergi atau masuk,” tambahnya.

Kondisi ini memaksa Diab untuk selalu berjaga dalam rumahnya sampai matahari terbit. Terkadang, saudaranya mengambil alih karena takut akan serangan mendadak oleh pemukim Yahudi. Setiap saat, Diab takut kejadian nahas terjadi pada dirinya seperti yang menimpa keluarga Dawabsheh tahun 2015.

Rumah keluarga Dawabsheh dibakar oleh pemukim Yahudi di Desa Duma saat mereka sedang tidur. Serangan tersebut menewaskan pasangan Palestina dan putranya yang baru berusia 18 bulan.

Situasi Diab juga dirasakan di rumah keluarga Ghousheh. Maysoun dan dua putrinya telah tinggal di Sheikh Jarrah sejak tahun 1990. Setelah tetangganya Um Kamel al-Kurd diusir dari rumahnya pada tahun 2008, semua penduduk mengalami mimpi buruk pemindahan paksa. Seiring berjalannya waktu, pos militer beberapa inci semakin dekat dari rumahnya. Dua tentara Israel menempatkan diri mereka di gerbang.

Dilansir Middle East Eye, Rabu (7/7), Maysoun mengaku situasi ini sangat sulit dihadapi bagi putri bungsunya Mayar yang menolak pergi ke sekolah selama dua pekan karena takut dia tidak akan diizinkan kembali ke rumahnya. Anaknya yang berusia 11 tahun terpaksa dirujuk ke lembaga sosial karena menderita tekanan psikologis.

Mayar menyebut ia akan menjadi seorang jurnalis andal. “Saya akan menjadi seorang jurnalis untuk menyampaikan krisis di Sheikh Jarrah kepada dunia,” ucap dia. Dia merenungkan peristiwa baru-baru ini dan dampak buruk dialami terhadap dirinya baik fisik maupun emosional.

“Hidup saya benar-benar berbalik dalam beberapa bulan terakhir. Saya telah terluka beberapa kali dalam serangan harian oleh pasukan polisi dan pemukim. Granat dan gas air mata telah menghancurkan jendela kami. Saya mengalami banyak hal yang tidak seharusnya saya alami sebagai seorang anak,” ujar dia.

Mayar bukan satu-satunya anak yang ingin menjadi jurnalis. Di luar rumah Ghousheh, Nufuth Hammad (14 tahun) tengah berkeliaran di jalan dengan membawa buku catatan dan pena. Dia mengumpulkan kesaksian para tetua Sheikh Jarrah tentang kehidupan mereka di masa lalu dan sekarang.

Meskipun ditahan bulan lalu, Hammad berjalan dengan percaya diri dan tanpa rasa takut terhadap pemukim bersenjata dan pasukan Israel yang berpatroli di jalan sepanjang waktu. “Saya tahu saya bisa ditangkap kapan saja karena gerakan kami dibatasi bahkan di dalam lingkungan itu sendiri,” tuturnya.

Hammad ditahan setelah seorang pemukim mengajukan keluhan terhadapnya karena menggambar bendera Palestina di wajah anak-anak dan mendengarkan lagu tentang Yerusalem bersama teman-temannya. Pemukim itu menyebut lagu-lagu tersebut adalah polusi suara dan dia tidak diizinkan untuk memuliakan bendera Palestina karena tinggal di tanah Israel.

Polisi Israel menginterogasi Hammad selama beberapa jam sebelum membebaskannya. Keluarga Hammad dipindahkan secara paksa dari kota Haifa selama Hari Nakba tahun 1948. Keluarga itu pindah ke Karm al-Jaouni pada 1956 sebagai bagian inisiatif Yordania dan PBB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement