REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lonjakan pasien Covid-19 yang telah melebihi kapasitas rumah sakit membuat dokter di Indonesia terpaksa membuat keputusan sulit menyangkut hidup dan mati pasien.
Seorang dokter spesialis kedaruratan, Corona Rintawan, 46 tahun, mengatakan mau tidak mau memilih pasien dengan peluang hidup yang lebih baik untuk ditangani lebih lanjut.
Corona bertugas di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, dimana tempat tidur di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang isolasi pasien sedang terisi penuh meski kapasitasnya terus ditambah.
Mayoritas pasien datang ke rumah sakit dengan gejala berat dan mengalami desaturasi oksigen.
Sebagian harus mengantre di IGD hingga tiga hari untuk mendapatkan ruang rawat inap, sebagian lainnya bahkan tidak mendapat tempat di IGD.
Pada titik ini, Corona menuturkan tenaga medis tidak lagi sanggup melayani seluruh pasien yang datang.
“Kami terpaksa meng-exclude yang secara teori apabila diberikan terapi apa pun kondisinya tidak akan membaik. Memutuskan ini enggak gampang,,” kata Corona kepada Anadolu Agency, Jumat (9/7), seperti dilansir Anadolu Agency.
Menurut Corona, pilihan sulit ini kini menghampiri dia setiap hari dan menimbulkan tekanan psikologis bagi tenaga medis.
Pasalnya, jumlah pasien yang membutuhkan perawatan intensif selalu lebih besar dibandingkan ruang ICU dan ventilator yang tersedia.
“Misalnya ada yang kita pilih kemudian diberi ventilator, namun setelah empat sampai lima hari tidak membaik, muncul pemikiran apakah kalau kemarin diberikan ke pasien lainnya bisa selamat? Ini menjadi beban moral bagi kami,” tutur dia.
‘Tidak pernah alami situasi seburuk ini’
Selama 18 tahun berkarir sebagai dokter di bidang kedaruratan, Corona menyatakan tidak pernah melihat fasilitas kesehatan (Faskes) mengalami krisis seburuk ini, bahkan ketika menghadapi bencana yang masif seperti tsunami Aceh pada 2004 sekalipun.
Indonesia terus melaporkan rekor demi rekor kasus baru Covid-19, puncaknya sebanyak 38.391 orang pada Kamis. Lonjakan kasus di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, sedangkan angka kematian harian menjadi salah satu yang tertinggi di Asia.
Lonjakan ini menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi tenaga medis, rumah sakit terisi penuh, krisis oksigen dan obat terjadi.
“Tsunami Aceh, wabah SARS, itu tidak sampai seburuk ini. Cerita dokter-dokter yang lebih senior pun tidak pernah sampai seperti ini,” ujar dia.
Dalam konteks bencana alam, Corona mengatakan situasi krisis biasanya terjadi hanya pada lingkup wilayah yang terbatas dan bantuan dapat dikerahkan dari wilayah lain yang tidak terdampak.
“Sementara pandemi ini luas sekali, mau membantu daerah lain pun sulit karena kita sendiri harus survive menangani di daerah kita,” kata Corona.
Tingginya mobilitas masyarakat ketika libur Idulfitri serta merebaknya kasus Covid-19 dengan varian Delta yang lebih menular telah membuat lonjakan infeksi kali ini lebih buruk dibanding pada Januari-Februari lalu.
Akibatnya tenaga medis kelelahan dan stres akibat beban kerja yang tinggi. Lonjakan pasien juga memicu jumlah tenaga medis yang terinfeksi Covid-19 ikut meningkat meski telah divaksin dua kali.
Corona menuturkan banyak tenaga medis yang tidak sempat menjalani isolasi mandiri karena harus bekerja akibat fasilitas kesehatan kekurangan sumber daya.
Data Lapor Covid19 —sebuah inisiatif warga sipil— juga menunjukkan sebanyak 1.183 tenaga kesehatan telah gugur sepanjang pandemi dan jumlahnya meningkat signifikan sejak Juni hingga Juli 2021.
“Secara fungsional bisa dibilang fasilitas kesehatan saat ini sudah kolaps,” kata Corona.
Faskes kolaps sebabkan angka kematian tinggi
Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan kondisi fasilitas kesehatan yang telah kolaps turut berdampak pada tingginya angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia.
Menurut data Kementerian Kesehatan, terdapat 5.269 kasus kematian akibat infeksi Covid-19 dalam satu pekan terakhir dengan total seluruhnya sebanyak 63.760.
Catatan tertinggi terjadi pada Rabu, ketika Indonesia melaporkan 1.040 pasien meninggal dalam sehari.
Banyak pasien menjalani isolasi mandiri kesulitan mendapatkan penanganan medis ketika kondisinya memburuk.
“Akhirnya banyak yang meninggal di rumah karena rumah sakit penuh, tidak ada tempat tidur isolasi, dan terlambat mendapatkan bantuan oksigen,” kata Windhu kepada Anadolu Agency.
Dalam sepekan terakhir, belasan rumah sakit di Surabaya, Jawa Timur dan Bandung, Jawa Barat menutup sementara IGD karena tidak mampu lagi menangani pasien baru dan stok oksigen menipis.
Rumah sakit lapangan telah dibangun di berbagai kota di Pulau Jawa, kemudian sejumlah rumah sakit di Jakarta telah mengubah IGD menjadi ruang isolasi pasien, sementara layanan IGD dibuka di tenda darurat.
Pemerintah terus menambah kapasitas tempat tidur isolasi untuk pasien Covid-19, namun Windhu mengatakan beban tenaga kesehatan sudah sangat tinggi dan tidak lagi bisa mengimbangi jumlah pasien yang harus ditangani. Sementara itu, upaya menambah relawan medis pun juga sepi peminat.
Dia menuturkan pemerintah harus mampu membendung ledakan kasus Covid-19 untuk mengurangi beban fasilitas kesehatan yang kondisinya sudah jauh dari ideal.
“Seberapa besar pun kita melebarkan kapasitas perawatan, kalau lonjakan pasien seperti air bah tidak akan pernah cukup,” ujar dia.