IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Kegiatan haji dan umroh merupakan sebuah kegiatan wisata religi yang harus mengedepankan unsur ibadah. Namun, di sisi lain ada peluang lain seperti bisnis atau ekonomi, politik, serta sosial yang harus ditangkap.
Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), Khoirizi, menyebut dalam satu musim haji setidaknya ada perputaran uang senilai kurang lebih Rp 15 triliun. Sementara, untuk umroh minimal per-orangnya mengeluarkan biaya Rp 25 hingga 30 juta.
"Ibadah haji dan umroh tidak semata-mata memperhatikan nilai-nilai di luar nilai ibadah. Kalaupun ada aspek lainnya, itu hanya sebagai dampak. Kegiatan haji dan umroh tidak bisa disamakan dengan wisata lainnya," kata dia dalam webinar Indonesia Islamic Marketing Festival 2021 Episode 1, dengan topik 'Meningkatkan Kualitas Layanan Haji, Umrah, dan Wisata Islami', Senin (12/7).
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, disebut Pemerintah Indonesia membuka peluang bagi kemungkinan ekonomi. Bahkan, Khoirizi menyebut dalam setiap kontrak yang dibuat diupayakan dapat membantu aspek ekonomi Indonesia.
Menghadapi era pasca-pandemi Covid-19, ia menyebut penyelenggara perjalanan harus bisa mengambil peluang yang ada, agar ibadah umroh dan haji tidak hanya sebagai aspek ibadah namun juga wisata dan bisnis. Ketika dua aspek ini menjadi target, ada hal yang harus didiskusikan agar tidak menghilangkan esensi utama, yaitu ibadah.
"Harapannya, ke depan aspek ibadah makin kuat, namun peluang yang lain bisa dikedepankan dan ada nilai manfaat yang bisa diraih bersamaan," lanjutnya.
Pemerintah Indonesia juga disebut mendorong penyelenggara perjalanan utamanya umroh untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan sebaik mungkin. Untuk mendapatkannya, ada beberapa aspek yang disebut harus diperbaiki.
Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) disebut harus menjadi perhatian. Dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) sifatnya hanya sebatas melakukan akreditasi, pengawasan dan perizinan, yang bahkan sudah dikelola secara utuh oleh OSS dari kementerian yang bersangkutan.
Khorizi menyebut saat ini Arab Saudi sedang fokus menjalankan Visi 2030, dimana bertujuan melakukan diversifikasi dalam hal ekonominya. Cara ini dinilai harus diadopsi dan ditangkap oleh Indonesia agar tidak ketinggalan langkah dalam upaya menangkap peluang yang ada.
"Pemerintah membuka pintu selebar-lebarnya agar pihak penyelenggara dapat mengambil kesempatan dengan sebaik-baiknya. Kekuatan stakeholder utamanya penyelengagra diharapkan bisa semakin bersatu dalam satu genggaman," kata dia.
Adapun terkait pelaksanaan umroh ke depan, Ia menyebut telah bertemu dan melakukan pembahasan dengan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyebut Kerajaan Saudi masih berfokus pada penyelenggaraan haji 2021.
Ia pun mengingatkan, meski Indonesia telah menyiapkan regulasi atau kebijakan sebaik mungkin terkait pelaksanaan haji dan umroh, namun keputusan atau aturan dari Saudi yang menjadi penentunya. Pelaksanaan ibadah ini dibatasi oleh ruang dan waktu yang perlu diperhitungkan.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Beny Witjaksono, menyebut saat ini jamaah haji yang terdaftar berjumlah 5,1 juta orang. Jamaah haji reguler menjadi mayoritas dengan total lima juta orang.
"Profil jamaah haji kita itu menengah ke bawah. Masa tunggu paling singkat 20 tahun sementara paling lama 40 tahun," katanya.
Terkait meningkatkan layanan haji dan umroh, ia menyebut kegiatan manasik yang kekinian perlu dilakukan namun jangan sampai terlalu kekinian. Hal ini penting diingat melihat kondisi akses teknologi dan internet yang masih belum merata dengan baik.
Sampai saat ini, model manasik di Indonesia masih manual tatap muka dengan memanfaatkan kantor urusan agama yang ada. Teknologi bisa digunakan jika keadaannya memungkinkan.
Terkait wisata Islami atau religi, Beny menyebut ada peluang yang cukup besar di dalamnya. Hal ini mengingat gaya hidup halal kini menuju tren dan ruang lingkup mainstream atau kebiasaan utama dan konsumsi produk maupun layanan halal semakin berkembang.
"Indonesia merupakan daerah wisata Islami yang menjadi harapan dunia ke depan. Muslim adalah pasar sekaligus kesempatan yang besar, sehingga optimisme pemain pariwisata halal sangat besar," ujar dia.