Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan di Jakarta, 17 Agustus 1945. Kaum nasionalis di berbagai daerah menyambut gembira momen itu dan siap sedia mempertahankan kedaulatan. Belanda masih ingin menjajah kembali Tanah Air.
Menjelang Agresi Militer Belanda, Oei sudah menjadi Ketua Partai Masyumi di Bengkulu. Pasca-Agresi Militer II, dirinya menjadi buronan tentara kolonial. Bersama dengan kawan-kawan seperjuangan, semisal Residen Mr Hazairin, Letkol Barlian, dan Affan, ia pun melarikan diri ke pedalaman Bengkulu dengan kendaraan.
Sementara, Belanda terus menjatuhkan bom dari udara. Pasukannya juga melacak di darat. Oei dan kawan-kawan beserta laskar perjuangan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Di Muara Aman, sempat terjadi aksi boikot masyarakat setempat. Mereka enggan menjual makanan. Tidak mau persoalan ini kian membesar, Letkol Barlian mengusulkan Oei menjadi penengah.
Muslim Tionghoa ini dipandang sebagai tokoh Muhammadiyah yang disegani di Bengkulu. Dengan kemampuan Oei dalam bernegosiasi dan komunikasi, penduduk akhirnya insaf. Mereka menyadari keengganannya itu seolah-olah menjadikannya kaki tangan Belanda, padahal tidak demikian. Mereka pun bersedia membantu kaum pergerakan.
Bersambung..