KH Saleh Darat dijuluki sebagai guru pesantren-pesantren. Pasalnya, dia suka menolong perkembangan pesantren-pesantren yang didirikan orang-orang.
Sosok Raden Ajeng Kartini juga sempat berguru dengannya. Kisah mahaguru dan murid perempuan ini menunjukkan satu contoh peleburan budaya lokal Jawa dan Islam. Pada mulanya, KH Saleh Darat mengajarkan tafsir Alquran di beberapa kota-kota pesisir utara Jawa, termasuk Demak. Bupati Demak saat itu merupakan paman RA Kartini.
Dalam suatu pengajian bulanan, putri kelahiran Jepara ini menjadi peserta. Dia turut bersama dengan para priyayi wanita yang duduk di belakang tirai, menyimak pemaparan dari sang kiai. Ternyata, penjelasan KH Saleh Darat tentang tafsir Surah al-Fatihah amat menarik hatinya.
Usai pengajian, Kartini lantas membujuk pamannya agar menemaninya untuk menemui KH Saleh Darat. Dengan kata-kata yang sopan tetapi tegas, Kartini meminta kepada sang kiai agar bersedia menerjemahkan al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu. Sebab, kata mereka, Alquran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain, keluh Kartini kepada KH Saleh Darat.
Kepadanya, Kartini mengaku belum pernah mengerti arti dari surah al-Fatihah sebelum mengikuti kajian di Pendopo Demak ini. Betapa sayangnya, kata Kartini, bila membaca suatu kitab yang sedemikian indah tetapi dia sendiri tidak memahami sama sekali isinya.
Bagaimana mungkin beramal tanpa ilmu?