IHRAM.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis, Emmanuel Macron pada Oktober tahun lalu memaparkan visi di balik rancangan undang-undang (RUU) baru yang sangat kontroversial. Pemerintah mengklaim minoritas dari sekitar 6 juta Muslim Prancis berisiko membentuk masyarakat yang melakukan perlawanan kontra dan RUU itu dirancang untuk mengatasi bahaya separatisme Islam.
Macron bermaksud untuk menjaga nilai-nilai republik. Namun banyak kalangan yang mengkritiknya, termasuk Amnesty International, yang telah menyuarakan keprihatinan serius dan menganggap itu dapat menghambat kebebasan berserikat dan berekspresi, dan meningkatkan diskriminasi.
Undang-undang baru, kata para pengkritik, akan sangat mempengaruhi pembangunan masjid, dan memberikan lebih banyak keleluasaan kepada otoritas lokal untuk menutup asosiasi lokal yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Republik. Istilah 'nilai republik' sendiri sering digunakan terhadap umat Islam secara khusus.
Tetapi salah satu poin yang paling kontroversial adalah memperluas larangan perempuan mengenakan jilbab di peran sektor publik, ke organisasi swasta yang menyediakan layanan publik. Perubahan isi RUU juga diajukan untuk melarang pakaian renang ukuran penuh (burkini), anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan jilbab di depan umum, dan ibu mengenakan jilbab dalam perjalanan sekolah anak-anak mereka. Ini memang sudah dibatalkan, tetapi stigma terhadap mereka tetap hidup.