Senin 09 Aug 2021 12:03 WIB

KH Ahmad Al-Hadi Perintis Pesantren di Bali (I)

Sepulang dari Hijaz, ia sempat berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Pondok Pesantren
Foto:

Masih haus akan ilmu-ilmu agama, Ahmad pun melangkahkan kaki ke Termas. Di sana, ia belajar kepada pamannya sendiri, KH Raden Dimyati. Sesudah itu, lelaki ini mengaji kepada Kiai Idris di Pesantren Jamsaren Solo dan Madrasah Manba'ul Ulum. Dari Jawa Tengah, kesempatan untuknya bertolak ke Makkah al- Mukarramah untuk menunaikan haji sekaligus melanjutkan rihlah keilmuan.

Dengan penuh komitmen dan disiplin, Ahmad al-Hadi belajar di Tanah Suci. Banyak guru dan syekh ditemuinya guna mendapatkan ilmu dan hikmah. Dalam periode itu, ia pun semakin matang sebagai seorang mubaligh yang alim.

Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Air. Kecintaan akan ilmu-ilmu agama membuatnya terus menjadi santri.

Sepulang dari Hijaz, ia sempat berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Setelah itu, atas saran sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu, dirinya berangkat ke Bangkalan, Madura.

Tujuannya adalah belajar kepada KH R Muhammad Kholil Bangkalan. Alim dari Pulau Madura itu dijuluki sebagai syaikhona. Sebab, Kiai Kholil diakui luas sebagai gurunya para kiai se-Jawa, atau bahkan seluruh Nusantara.

Banyak santrinya yang di kemudian hari menjadi ulama besar. Sebut saja, KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.

Syaikhona Kholil sangat luar biasa dalam mengemban amanah sebagai seorang guru agama. Dedikasinya itu pun membuahkan hasil yang sangat baik. Beberapa santrinya bisa tampil menjadi ulama panutan yang berpengaruh. Mereka bisa dipertanggungjawabkan kualitas keilmuannya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement