IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Banyak warga Afghanistan yang melarikan diri setelah Taliban menguasai Kabul pada bulan ini. Salah satunya adalah suku minoritas Hazara.
Berdasarkan laporan Amnesty terbaru, Taliban bertanggung jawab atas pembunuhan sembilan orang kelompok Hazara pada bulan Juli di desa Mundarakht. Serangan tersebut membuat eksodus massal orang Hazara melintasi perbatasan ke Pakistan. Para aktivis melaporkan sekitar 10 ribu orang Hazara telah tiba di Quetta, Pakistan. Mereka tinggal di masjid, gedung pernikahan, dan ada yang menyewa kamar.
Salah seorang dari mereka adalah Sher Ali (24 tahun), seorang penjaga toko yang melarikan diri bersama istri dan bayinya. Ali mencapai Chaman di sisi perbatasan Pakistan pada Kamis. Ali memutuskan untuk meninggalkan Afghanistan setelah dia menyaksikan temannya Mohammad Hussain (23 tahun) ditembak mati oleh Taliban 10 hari lalu di Kabul. Hussain telah melewati pos pemeriksaan keamanan Taliban dengan sepeda motor. Dia menolak untuk berhenti dan mereka menembaknya dengan senapan serbu.
“Ketika saya pergi ke tempat itu, mayat Hussain tergeletak di jalan dengan genangan darah. Saat itulah saya memutuskan untuk pergi,” kata Ali, dilansir The Guardian, Senin (30/8).
Dalam beberapa hari terakhir, telah terjadi kekacauan di persimpangan perbatasan Chaman karena puluhan ribu orang Afghanistan telah berusaha untuk menyeberang. Hanya mereka yang memiliki surat izin tinggal di Pakistan atau orang-orang yang bepergian ke Pakistan untuk perawatan medis yang secara resmi diizinkan masuk. Namun, beberapa orang Hazara mengatakan para penyelundup akan menyuap pihak berwenang di perbatasan agar warga Afghanistan dapat menyeberang secara ilegal.
Seorang mahasiswa ilmu komputer dari provinsi Ghazni, Mohammed Sharif Tahmasi (21 tahun) mencapai Chaman bersama dua saudara perempuan dan laki-lakinya pada Kamis. Keluarga Tahmasi belum pernah ke Pakistan tapi orang tuanya telah memberi anaknya sejumlah uang dan menginstruksikan mereka untuk segera melewati perbatasan sesegera mungkin.
“Semua orang tua Hazara meminta anak-anak mereka untuk meninggalkan Afghanistan dan selamat. Saya tidak tahu bagaimana orang tua saya dan saudara-saudara saya yang lain. Saya hanya berharap mereka selalu dalam keadaan baik dan menyusul saya,” ujar dia.
Saudara perempuannya, Nahid Tahmasi (15 tahun) yang merupakan siswa sekolah dasar mengatakan dia tidak ingin meninggalkan orang tuanya. Dia menyebut sebelum meninggalkan Ghazni, pembatasan Taliban terhadap perempuan sudah mulai diberlakukan.
“Saya tidak bisa pergi ke sekolah dan saya merindukan kota, orang tua, dan teman-teman saya. Ketika Taliban menguasai provinsi Ghazni, mereka melarang masuknya anak perempuan ke taman umum dan sekolah. Mereka tidak ingin anak perempuan belajar. Kami tidak bisa berkeliaran di luar atau mengunjungi tetangga kami dan berpakaian seperti yang kami inginkan,” tuturnya.
Tak hanya Tahmasi, anak Hazara lain juga terpaksa meninggalkan orang tuanya di Afghanistan demi menyelamatkan nyawa mereka. Mohammad Fahim Arvin (21 tahun) yang merupakan mahasiswa Universitas Politeknik Kabul, terpaksa meninggalkan Afghanistan karena orang tuanya. Dia mengungkapkan kesedihannya lantaran terpisah dengan orang tuanya.
“Taliban membenci kami dan ingin kami bergabung dengan mereka dan berjuang untuk mereka tapi kami tidak bisa. Bukan salah saya dilahirkan sebagai Hazara karena itu adalah keputusan Tuhan. Mengapa mereka (Taliban) ingin membunuh kita karena menjadi Hazara?” ucap dia.
Kendati telah melarikan diri, suku Hazara tidak merasa aman di Pakistan. Mereka telah dianiaya selama tiga dekade olek kelompok militan lain. Awal tahun ini, sepuluh penambang Hazara yang bekerja di Balochistan dibunuh oleh anggota ISIS. Menurut laporan tahun 2019 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Pakistan, setidaknya 509 Hazara telah dibunuh karena keyakinan mereka sejak 2013.
Bagi banyak komunitas Hazara Afghanistan yang tiba di Pakistan dengan sedikit uang dan tanpa koneksi, mereka harus bergantung pada kebaikan masyarakat setempat. Syed Nadir termasuk di antara mereka yang menjamu lima keluarga Hazara, termasuk keluarga Haideri di Quetta yang telah tiba dalam beberapa hari terakhir.
“Saya tidak mengenal mereka tapi semua orang Hazara sedang mengalami salah satu masa terburuk. Mereka meninggalkan rumah mereka dan kita harus menjamu mereka. Semua negara harus memainkan peran mereka untuk Hazara dan Afghanistan,” kata dia.