Ketika Belanda melakukan agresi militer, pesantren tersebut juga turut serta dalam gelanggang perjuangan. Para kiai dan santrinya terjun langsung ke medan gerilya. Bahkan, Kiai Chodlori pun menjadi salah satu target buruan penjajah.
Sebagian bangunan pesantren itu kemudian dibakar habis tentara musuh. Sejumlah santri dan Kiai Chudlo ri sendiri serta keluarganya terpaksa mengungsi dari satu desa ke desa lain. Begitu Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 1949, kondisi kembali pulih. Sang kiai pun dapat kembali membangun pesantrennya.
Pembangunan itu dibantu masyarakat sekitar yang bersimpati terhadap perjuangannya. Maka, jumlah santri pun bertambah banyak. Pada 1977, tercatat sebanyak 1.500 orang menjadi santri di sana. Pesantren API merupakan hasil perjuangan dan warisan Kiai Chudori untuk kemajuan agama dan bangsa Indonesia.
Setelah puluhan tahun mengabdi, Kiai Chudori wafat pada 28 Agustus 1977. Ia dimakamkan di kompleks makam keluarga yang masih termasuk area Pesantren API. Dakwahnya kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya. Pondok Pe santren API Tegalrejo kini dipimpin seorang putranya yang bernama KH Muhammad Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf.