IHRAM.CO.ID, KH Chudlori merupakan putra pasangan Muhammad Ikhsan, yang bekerja sebagai penghulu masjid, dan Mujirah. Anak kedua dari 10 bersaudara itu lahir sebelum Indonesia merdeka. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti.
Chudlori kecil menempuh pendidikan dasar di sebuah sekolah pribumi berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setelah itu, ia menjadi seorang santri kelana. Rihlah keilmuan dilakukannya dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Tanah Jawa. Minatnya memang besar dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam.
Pada 1923, Chudlori menjadi santri di Pondok Pesantren Payaman, yang dipimpin KH Siroj. Ia menghabiskan banyak waktu dengan belajar dan mengaji. Setelah dua tahun menimba ilmu di sana, dirinya melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Kuripan yang diasuh KH Abdan.
Tak berhenti di situ, beberapa tahun kemudian ia pindah ke pesantren yang diasuh Kiai Rahmat di Gragab hingga 1928. Setelah itu, barulah ia nyantri di Tebuireng yang didirikan sang perintis Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.
Saat di Pesantren Tebuireng, Chudlori termasuk kalangan santri yang cerdas dan rajin. Di luar pengajian rutin, ia selalu menyempatkan diri untuk mengasah kemampuan dalam membaca dan mendalami berbagai kitab klasik.