Rabu 01 Sep 2021 02:24 WIB

Ketika Ibnu Batutah Menangis karena Kesendiriannya

Ibnu Batutah saat berusia 21 tahun memutuskan untuk berpetualang.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Perjalanan Ibnu Batuta, Ilustrasi
Foto:

Sendirian di atas keledainya, Ibnu Batutah menuju ke Timur melintasi lembah-lembah kosong yang disinari matahari, melewati pegunungan Rif dan terus melalui hutan cedar dan ek. Di tempat yang sekarang disebut Aljazair barat ini, ia bergabung dengan karavan para pelancong, yang menawarkan rasa persahabatan meski itu tidak mencegah rasa rindu rumah yang akut di luar Tunis.

"Aku merasa sangat sedih di hati karena kesepian yang kualami. Sehingga aku tidak dapat menahan air mata yang mulai menetes di mataku. Menangis dengan sedih," tulis Ibnu Batutah.

Dia tidak saja rindu kampung halaman, tetapi juga merasa butuh karena saat di Bougie di Aljazair, ia sempat sakit demam meski pada akhirnya pulih juga sehingga bisa melanjutkan perjalanan. 

Di Tunis, Ibnu Batutah menyelami banyak buku dan tinggal di sebuah madrasah (perguruan tinggi Islam) dan bergaul dengan para cendekiawan dan hakim terkenal. Itu menjadi ambisinya yang nyata. Dan luar biasa, saat meninggalkan Tunis pada November 1325 di tengah karavan musafir yang membludak, ia diangkat menjadi qadi (hakim) mereka sebagai pengakuan atas bakat intelektualnya yang berkembang.

Namun, sayangnya, catatan Ibnu Batutah tidak banyak menyebutkan secara rinci ihwal bagaimana pengalamannya saat menjalani kehidupan di suatu daerah. Catatannya lebih banyak deskripsi lanskap dan kondisi yang menonjol tanpa menceritakan tentang orang-orang.

"Jadi kita hanya tahu sedikit tentang detail perjalanannya melintasi Afrika utara, tetapi lebih banyak tentang kesannya terhadap kota, dan orang-orang yang ditemuinya," kata Marozzi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement