IHRAM.CO.ID, GAZA -- Anak-anak di Gaza bagai hidup dalam mimpi buruk di tengah konflik dan serangan dari Israel yang terus-menerus. Mohammed Shaaban duduk di bangku depan kelas mendengarkan guru dengan seksama. Anak berusia delapan tahun itu mencoba yang terbaik untuk mengikuti pelajaran di tengah kondisinya.
Bersama teman-teman sekelasnya, anak kelas dua itu mengikuti pelajaran di sebuah sekolah di Beit Lahia, utara Jalur Gaza, tetapi hanya sementara. Dia kehilangan penglihatannya selama pengeboman intens Israel di Jalur Gaza. Sementara kini, administrasi sekolah telah menolak untuk membiarkan dia terus belajar di sana karena mereka tidak dapat mengakomodasi kondisinya yang cacat.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada Mei, ketika Mohammed baru saja selesai berbelanja untuk liburan Idul Fitri bersama ibu dan sepupunya. Di hari itu, sebuah roket mendarat di pasar dan membuat pecahan peluru beterbangan, beberapa mengenai wajahnya.
Tiga pekan kemudian, dia dipindahkan ke rumah sakit di Mesir untuk menerima perawatan atas cederanya. Para dokter memberi tahu ayahnya bahwa kasus Mohammed tidak ada harapan.
"Salah satu matanya telah dihancurkan oleh pecahan peluru, jadi sama sekali tidak ada harapan untuk mengobatinya. Yang satu lagi rusak parah, dan para dokter memberi tahu kami bahwa dia tidak akan pernah bisa melihat dengan matanya lagi," kata ayahnya, Hani Shaaban, kepada Middle East Eye (MEE), dilansir Rabu (1/9).
Setelah serangan itu, anak laki-laki yang kehilangan matanya ini berubah dan sekarang dia menghindari interaksi sosial dengan orang lain dan lebih suka tinggal sendiri. Menurut ayahnya, suasana hatinya berubah setiap 15 menit, terkadang dia mulai menangis dan menjerit, dan terkadang dia menemukan sesuatu untuk dinikmati. Akan tetapi, sebagian besar waktu anak itu tertutup dan tidak berbicara dengan orang di luar keluarganya.
"Setiap pagi, ketika saudara-saudaranya bersiap-siap ke sekolah, dia mulai menangis dan meminta untuk pergi bersama mereka, tetapi dia tidak bisa pergi ke sekolah lamanya lagi," kata Shaaban.
Shaaban mengatakan dia telah berbicara dengan sekolah tentang membiarkan putranya yang baru buta itu melanjutkan belajar di sana.
"(Administrasi sekolah) memberi tahu kami bahwa dia tidak bisa lagi bersekolah di sekolah reguler dan kami perlu memindahkannya ke sekolah khusus tunanetra," katanya.
Untuk menenangkan hati anak laki-laki yang hancur itu, sekolah mengizinkan Mohammed duduk di antara teman-teman sekelasnya dan mendorongnya untuk berpartisipasi dalam pelajaran. Shaaban mengatakan, anaknya merasa lebih baik, tetapi sekarang dia ingin pergi ke sekolah lamanya setiap hari.
Shaaban belum mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu putranya yang menyukai matematika bahwa dia tidak akan pernah bisa membaca atau belajar lagi.
"Sepanjang waktu dia bertanya kepada saya kapan dia bisa melihat lagi dan apakah dia bisa berjalan di jalan dan pergi ke sekolah sendirian. Dia bukan siswa biasa lagi," ujar sang ayah.
Tragedi Muhammad jauh dari unik. Menurut badan hak asasi manusia PBB, OHCHR, 66 anak-anak dan 40 wanita termasuk di antara 256 warga Palestina yang tewas dalam serangan 11 hari Israel di tanah yang diblokade. Dari anak-anak yang tewas, 51 di antaranya siswa usia sekolah. Sekitar 470 anak lainnya terluka dalam serangan itu. Sementara itu, lebih dari 50 fasilitas pendidikan rusak dalam pemboman itu, termasuk sekolah, taman kanak-kanak, dan Universitas Islam di Gaza tengah.
Lebih lanjut, tim Explosive Ordnance Disposal (EOD) dari kementerian dalam negeri di Gaza mengatakan telah menemukan empat bom Israel yang belum meledak yang masih terkubur di dalam tanah di bawah sekolah-sekolah yang dikelola oleh Unrwa, badan PBB untuk pengungsi Palestina.
Dalam sebuah survei terhadap 530 anak dari seluruh Jalur Gaza, pemantau hak asasi manusia yang berbasis di Jenewa menemukan bahwa sembilan dari 10 anak yang disurvei menderita beberapa bentuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD) terkait konflik.