Pada prinsipnya, di masa pandemi, jika pelaksanaan ibadah haji tidak bisa mengambil pendapat yang lebih hati-hati atau mengambil hukum yang lebih berat, maka dalam kasus tertentu bisa mengambil pendapat yang paling ringan atau mengambil pendapat minoritas. Menurut sebagian ulama, bertumpu pada pendapat minoritas ini diperbolehkan
Di sisi lain, seperti dikatakan Abdul Wahhab Khallaf. Islam mengenal dua jenis hukum. Pertama, hukum-hukum (al-ahkam) yang al-ma’qulah al-ma’na atau ahkam lam yasta’tsiri Allah bi ‘ilmi ‘ilaliha. Yakni hukum yang mengandung illat hukum, sehingga bisa dinalar dan dengan sendirinya bisa dilakukan qiyas (analogi).
Abdul Wahhab Khallaf mengatakan, kedua, hukum-hukum (al-ahkam) yang ghairu ma’qulah al-ma’na atau hukum yang tidak mengandung illat hukum sehingga mujtahid tak bisa melakukan qiyas.
Pada hukum jenis kedua ini, Allah SWT tak menginformasikan illat hukumnya.
Berkaitan dengan ibadah haji, Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin menyatakan bahwa aktivitas haji termasuk ke dalam hukum jenis kedua. "Seluruh amalan haji bersifat ta’abbudi," tulisnya.