IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Musik merupakan salah satu bentuk seni yang saat ini tak terlepas dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, ulama memiliki pandangan berbeda.
Pakar Tafsir Alquran Indonesia Prof Quraish Shihab mengatakan dalam bukunya Islam yang Saya Pahami, suara, nada, atau musik yang dihasilkan dari berbagai alat musik tidak secepatnya dan tanpa syarat harus dilarang. Terlebih, musik telah lama dikenal manusia dan digunakan beragama keperluan selain hiburan.
Kebanyakan ulama abad II dan III Hijriyah, khususnya yang berkecimpung dalam bidang hukum, mereka mengharamkan musik. Misal, Imam Syafi’i yang menegaskan diharamkan permainan dengan nard, alat musik yang terbuat dari sebatang kurma dan tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita lalu mengumpulkan orang untuk mendengar nyanyiannya.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat mendengar nyanyian termasuk dosa. Pandangan tersebut berbeda dengan kaum sufi yang umumnya mendukung nyanyian. Bahkan, ada dari mereka yang tidak akan menghadiri suatu acara jika tidak ada nyanyian.
Imam al-Ghazali membolehkan nyanyian atau suara merdu. Dia berpendapat nyanyian dapat menimbulkan ekstase, keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri. Pendapat ini didukung oleh hampir semua kaum sufi.
Di sisi lain, al-Ghazali mengaitkan larangan Nabi soal nyanyian atau musik dengan dampak negatif yang ditimbulkan. Hadits Nabi melarang nyanyian antara lain yang dilakukan wanita di hadapan lelaki di bar. Meski begitu, ada riwayat lain yang menunjukkan Rasulullah pernah hadir mendengar nyanyian dan membiarkannya saat ada yang bermaksud melarangnya.
Aisyah mengisahkan “Suatu ketika Rasulullah masuk ke kediamanku dan ketika itu ada dua gadis yang sedang menyanyikan lagu yang berkaitan dengan peristiwa bu’ats. Beliau berbaring dan memalingkan wajahnya. Abu Bakar masuk lalu menghardikku sambil berkata ‘Apakah ada seruling setan di hadapan Rasul?’ Nabi yang mendengar ucapan itu berkata ‘Biarkan saja kedua wanita itu.’ Saat Abu Bakar pulang, kedua penyanyi itu saya minta agar pulang,” (HR Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).
Quraish menjelaskan sikap Rasulullah tersebut menunjukkan kehalalan mendengar nyanyian. Sebab, keberpalingan Rasulullah bukan karena nyanyian melainkan keengganan melihat kedua wanita yang menyanyi itu.
Mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar, Mesir, Mahmud Syaltut dalam fatwanya menegaskan para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta mengabadikan peristiwa gembira.
Selain maksud dari semua itu, memang diperselisihkan. Semua alasan untuk melarangnya, selama tidak menimbulkan dampak negatif, tidak dapat dibenarkan. Dalam konteks ini musik menjadi haram atau makruh.
Namun, jika musik mendorong pada sesuatu yang baik, maka itu dianjurkan. Quraish menyebut lagu-lagu Barat siapa pun yang menyanyinya tidak haram didengar selama tidak mendorong pada keburukan. Sebaliknya, lagu-lagu berbahasa Arab atau berirama kasidah dapat menjadi haram apabila mengandung kalimat yang tidak wajar atau mengundang rasangan kemungkaran.