IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KAUB) menyampaikan bahwa menjaga kerukunan adalah mandat kitab suci dan konstitusi. Kerukunan adalah jantung moderasi beragama.
Ketua Komisi KAUB MUI, Kiai Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) mengajak MUI untuk menyelenggarakan konsolidasi dan deklarasi tokoh majelis agama-agama sebagai upaya merawat kerukunan umat beragama di era transformasi digital. Sebab mandat kerukunan bukan hanya mandat konstitusi, tapi juga mandat kitab suci.
"Di dalam pembukan UUD 1945 dinyatakan bahwa tugas negara, tugas kita sebagai warga negara, salah satunya adalah terlibat dalam proses perdamaian dunia," kata Kiai Moqsith saat menyampaikan pidato pada kegiatan konsolidasi dan deklarasi tokoh majelis agama di Hotel Sari Pacific Jakarta, Senin (27/9).
Kiai Moqsith menyampaikan terima kasih kepada perwakilan majelis agama-agama yang hadir dalam konsolidasi dan deklarasi ini. Sebab di dalam kitab suci seluruh agama-agama terutama yang ada di Indonesia, semuanya tidak ada yang membawa ajaran kekerasan. Sebaliknya, semuanya membawa ajaran perdamaian.
Ia menceritakan, khutbah Yesus di atas bukit salah satu intinya adalah perdamaian. Kitab-kitab suci yang lain juga berisi ajaran perdamaian dan kerukunan.
"Mudah-mudahan kehadiran tokoh lintas agama ini bisa ikut membantu terselenggaranya kerukunan umat beragama di Indonesia," ujarnya.
Kiai Moqsith mengatakan, Kemenag juga penting terlibat untuk kerjasama antara ulama dan umaro dalam upaya menciptakan perdamaian dan kerukunan.
Ia menambahkan, Kemenag sekarang memiliki gerakan yang disebut gerakan moderasi beragama. Bicara moderasi beragama tanpa kerukunan itu muspro atau tidak ada manfaatnya sama sekali.
"Karena itu jantung dari moderasi beragama adalah kerukunan," ujarnya.
Kiai Moqsith juga prihatin dengan konflik-konflik antarumat beragama dan intoleransi yang terjadi di mana-mana. Maka, ia menyarankan ke pimpinan majelis agama-agama jika ada konflik harus segera bertemu, jangan bicara kepada media terlebih dahulu.
"Karena seringkali media menjadi bahan untuk provokasi juga, kita ketemu untuk meredam agar potensi konflik yang lebih besar tidak terjadi," jelasnya.