"Seiring perubahan realitas, fleksibilitas norma agama yang bertentangan dengan norma agama universal juga harus berubah untuk mencerminkan keadaan kehidupan yang terus berubah di bumi," ujarnya.
Ia menambahkan, Hal ini sebenarnya dimulai pada awal abad Islam yakni pada saat berbagai aliran hukum Islam (mazhab) muncul dan berkembang. Selama lima abad terakhir, praktik ijtihad atau penalaran hukum independen, yang digunakan untuk menciptakan norma-norma agama baru pada umumnya telah berakhir di seluruh dunia Muslim Sunni. Maka ketika Muslim kontemporer mencari bimbingan agama, sumber referensinya adalah yurisprudensi atau produk abad pertengahan.
"Di tengah perubahan yang demikian pesat, dunia membutuhkan sebuah ortodoksi atau fikih Islam alternatif, yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia," jelas Menag.
Ia mengatakan, alasan ketiga tentang pentingnya rekontekstualisasi fikih adalah dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Keempat, walaupun tidak menjadikan non-Muslim berpindah (identitas) agama menjadi Muslim, diadopsinya nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya.
"Jika Islam mampu memberdayakan nilai-nilai dasarnya untuk dikontribusikan dalam pergulatan menyempurnakan tata dunia, itulah capaian raksasa yang dicita-citakan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam," kata Menag.