IHRAM.CO.ID, KAIRO—Puluhan ribu warga Sudan turun ke jalan sebagai bentuk protes pro-demokrasi terbesar setelah negara tersebut dikudeta pasukan militer pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burdan.
Akibatnya, tiga pengunjuk rasa tewas dan puluhan lainnya terluka ketika pasukan keamanan melepaskan beberapa tembakan.
Ketiga pengunjuk rasa tersebut tewas setelah tertembak di Omdurman, satu diantaranya ditembak di kepala, satu lagi di perut dan sisanya di dada, kata Komite Dokter Sudan dan pengunjuk rasa.
Komite, yang merupakan bagian dari Asosiasi Profesional Sudan itu, mengatakan pasukan keamanan telah menggunakan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa di Omdurman dan sekitarnya.
Diperkirakan lebih dari 110 orang terluka, beberapa dengan tembakan, di Khartoum, Omdurman dan provinsi timur Al-Qadarif.
Di sisi lain, Polisi Sudan membantah menggunakan peluru tajam dan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa seorang polisi terluka oleh tembakan. Mereka mengklaim hanya menggunakan gas air mata untuk membubarkan kelompok demonstran yang diduga menyerang pasukan mereka dan “posisi penting”.
Sejak pengambilalihan militer, protes jalanan terjadi setiap hari. Dengan penembakan fatal pada hari Sabtu, jumlah keseluruhan orang yang terbunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta meningkat menjadi 12, dan lebih dari 280 orang luka-luka, menurut Komite Dokter dan aktivis Sudan.
Kudeta, yang dikutuk oleh komunitas internasional, telah mengancam akan menggagalkan transisi Sudan menuju demokrasi, yang dimulai setelah penggulingan otokrat lama Omar Al-Bashir pada 2019.
Kelompok-kelompok pro-demokrasi telah menyerukan protes di seluruh negeri pada Sabtu (30/10) untuk menuntut pemulihan kembali pemerintahan transisi yang digulingkan dan pembebasan tokoh-tokoh politik senior dari tahanan.
Amerika Serikat dan PBB telah memperingatkan Jenderal Abdel-Fattah Burhan, bahwa mereka memandang perlakuan militer terhadap para pengunjuk rasa sebagai ujian, dan menyerukannya untuk menahan diri.
Sementara itu, Burhan mengklaim bahwa transisi menuju demokrasi akan terus berlanjut meskipun militer mengambil alih, dengan mengatakan dia akan segera mengangkat pemerintahan teknokrat baru.
Namun gerakan pro-demokrasi tidak berniat menurunkan kewaspadaan, dan meningkatkan tekanan pada para jenderal yang menghadapi kecaman dari AS dan negara-negara Barat lainnya untuk memulihkan pemerintahan yang dipimpin sipil.
Kerumunan mulai berkumpul Sabtu sore di ibu kota Khartoum dan kota kembarnya Omdurman. Para pengunjuk rasa meneriakkan “revolusi, revolusi.” Beberapa mengangkat spanduk bertuliskan, “tidak mungkin mundur.” Demonstrasi diserukan Asosiasi Profesional Sudan dan yang disebut Komite Perlawanan.
Keduanya berada di garis depan pemberontakan yang menggulingkan otokrat lama Omar Al-Bashir dan pemerintah Islamnya pada 2019. Mereka juga menyerukan pembongkaran kelompok paramiliter dan restrukturisasi badan militer, intelijen, dan keamanan.
Sebelumnya pada hari Sabtu, pasukan keamanan memblokir jalan-jalan utama dan jembatan yang menghubungkan lingkungan Khartoum. Keamanan ketat di pusat kota dan di luar markas militer, tempat aksi duduk besar-besaran selama pemberontakan 2019.
Sumber: arabnews