IHRAM.CO.ID, NEW DELHI -- Seorang warga Gurgaon, Altaf Ahmad, terkejut ketika anggota kelompok sayap kanan Hindu Bharat Mata Vahini (BMV) datang dan mengganggu shalat Jumat di tempat yang telag disediakan oleh pemerintah kota.
"Shalat adalah salah satu pilar agama kami, dan shalat berjamaah penting bagi kami dan identitas kami sebagai Muslim,” kata Altaf, yang juga salah satu pendiri Gurgaon Nagrik Ekta Manch (Forum Persatuan Warga Gurgaon), dikutip di TRT World, Kamis (25/11).
Pernyataan ini menyoroti penderitaan umat Islam yang tinggal di Gurgaon, di mana kelompok-kelompok seperti BMV dan Sanyukta Hindu Sangarsh Samiti (SHSS), menuntut pemerintah kota menghentikan ibadah Muslim di ruang publik. Ketika protes meningkat, pemerintah mencabut izin delapan dari 37 situs yang semula disetujui.
Di tengah kontroversi yang sedang berlangsung, dukungan Hindu dan Sikh mulai mengalir untuk komunitas Muslim. Banyak pihak mulai menawarkan ruang pribadi mereka untuk beribadah.
Termasuk di dalamnya adalah Akshay Yadav, seorang penduduk lokal yang rela memberikan tokonya, hingga seorang jurnalis senior Rahul Dev yang menawarkan rumahnya. Komunitas Sikh juga menawarkan ruang di gurudwara dan tempat-tempat pribadi lainnya di bawah yurisdiksi mereka.
Yadav diketahui sebelumnya juga telah menjangkau dan berusaha membantu Muslim setempat. “Di bulan suci Ramadhan, Yadav akan membuka tokonya untuk kami sehingga semakin banyak jamaah yang bisa shalat, bahkan hingga larut malam,” ujar Altaf.
Presiden Komite Gurudwara Singh Sabha, Sherdil Singh Sidhu, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan saudara-saudara Muslim dipersilakan untuk berdoa di dalam tempat gurudwara.
Namun, keputusan ini kemudian dikritik oleh beberapa anggota komunitas Sikh dan kelompok sayap kanan. Mereka mengklaim bahwa kata-katanya salah dikutip oleh media.
“Pernyataan saya ditentang oleh beberapa anggota komite. Oleh karena itu, kami telah mengklarifikasi kepada umat Islam bahwa kami tidak dapat memberi mereka ruang. Namun, mereka mengatakan memahami dan berterima kasih atas dukungan kami,” kata Singh.
Bahkan, anggota komunitas Muslim memutuskan tidak akan salat Jumat di dalam gurudwara, karena paham hal tersebut dapat menimbulkan gangguan dalam tatanan sosial daerah.
Bagi Altaf, langkah yang dilakukan Yadav atau bahkan komunitas Sikh patut diapresiasi dan diacungi jempol. Dia percaya, orang-orang ini menentang penindasan yang tidak pernah mudah, terutama mengingat masa yang penuh gejolak.
Mengingat jumlah masjid yang tidak mencukupi di kota itu, shalat Jumat telah berlangsung selama lebih dari satu dekade di daerah terbuka Gurgaon. Kota itu sendiri memiliki populasi sekitar 1,5 juta orang, di mana 4,6 persennya atau sekitar 72.480 adalah Muslim.
Di kawasan Gurgaon Baru, Haryana Urban Development Authority (HUDA) menyediakan ruang untuk satu masjid di Sektor 57, untuk komunitas Muslim. Gurgaon tua memiliki beberapa masjid kecil, namun tidak memadai untuk mereka yang tinggal atau bekerja di seluruh Gurgaon.
Isu penentangan shalat berjamaah ini awalnya mengemuka pada 2018, ketika umat Islam dihentikan oleh sekelompok orang untuk shalat di ruang terbuka. Untuk menghindari konflik, perwakilan masyarakat mendekati pemerintah kota.
Dalam diskusi selanjutnya, pemerintah meminta pengurangan tempat salat menjadi 60 dari semula 100, sehingga keamanan yang memadai dapat diberikan.
Namun, pemerintah tidak menerima daftar ini dan selanjutnya menguranginya menjadi 37 titik untuk seluruh wilayah Gurgaon dan Manesar, termasuk tiga masjid yang seharusnya tidak ada dalam daftar tempat terbuka.
“Kami awalnya keberatan dengan jumlah tempat shalat yang dikurangi menjadi 34 dari 100. Tetapi pemerintah mengatakan kepada kami tempat-tempat tersebut dapat ditambah setelah permasalahan mereda. Oleh karena itu, kami mengabulkan permintaan mereka,” kata Altaf.
Ketika kondisi telah terkendali selama hampir dua tahun, baru-baru ini masalah kembali muncul, ketika Dinesh Bharti yang mengaku sebagai kepala BMV mulai menargetkan dan mengganggu 34 tempat sholat yang tersisa, di mana pemerintah telah berjanji untuk memberikan keamanan.
Bharti berhasil menghentikan salat Jumat di Sektor 39, 40 dan 43 selama bulan Maret dan April tahun ini. Sebuah Laporan Informasi Pertama diajukan terhadap Bharti pada 16 April, karena mempromosikan permusuhan antara kelompok yang berbeda atas dasar agama, ras, tempat lahir, tempat tinggal.
Setelah kejadian ini, shalat berjamaah tidak dilakukan selama tiga bulan ke depan. Tetapi pada September lalu, ketika pembatasan dilonggarkan dan doa bersama dimulai, Bharti keluar lagi bersama anggota BMV dan mulai meneriakkan slogan-slogan menentang shalat berjamaah.
“Pada 17 September, Bharti dan beberapa orang lainnya menargetkan pelaksanaan shalat Jumat dengan melontarkan caci maki dan cercaan komunal kepada mereka yang salat,” kata Altaf.
Dia juga merasa tindakan yang diambil oleh pemerintah hingga saat ini tidak cukup, dengan komunitas Muslim terus dipojokkan.
Bahkan bagi Taufiq Ahmad, yang memiliki toko di dekat rumah Yadav dan sekarang menggunakan toko ini untuk beribadah, gagasan pemerintah mencabut akses ke situs-situs yang telah disetujui sebelumnya tidak masuk akal.
Ahmad juga mengatakan Badan Wakaf memiliki banyak tanah di Gurgaon, tetapi saat ini sebagian besar dirambah. Kondisi ini mempersulit umat Islam untuk membangun masjid di atasnya.
“Bahkan jika kita ingin membangun masjid, kita tidak bisa melakukannya. Tanah yang telah diberikan kepada kami telah diambil, dan tanah yang idealnya dapat kami gunakan juga berada di luar jangkauan kami. Absurditas apa ini?” lanjutnya. // Zahrotul Oktaviani