Menurut Mahi, mungkin tidak sedikit masyarakat yang ragu terhadap konten dakwah yang ada di media digital. Apalagi jika pendakwahnya terbilang pendatang baru atau tidak memiliki latar belakang keagamaan yang cukup. Hal ini bermunculan di era kekinian karena mereka punya sarana untuk belajar menggunakan teknologi digital.
"Maka yang terpenting adalah komitmen pendakwah untuk menguatkan konten sehingga konten-konten dakwahnya tetap terkendali karena merujuk pada Alquran dan hadits atau kaidah lain berdasarkan kesepakatan ulama. Ini penting agar umat tidak kebablasan dalam melakukan tindakan-tindakan," katanya.
Sementara , Akademisi dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Moch Fakhruroji menyampaikan, di jagat maya, otoritas keagamaan dari seseorang bersifat cair sehingga hal ini menjadi tantangan dan perlu dikuatkan kembali.
Misalnya, dia mengatakan, seorang Muslim bisa berdakwah ketika memiliki pemahaman keagamaan yang cukup. Atau punya relasi dengan tokoh atau institusi keagamaan yang bersifat otoritatif seperti pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
"Namun diperlukan kajian mendalam tentang berbagai macam praktik baru dalam dakwah. Kajian dakwah ini kajian paling elastis, jadi harusnya bisa menyesuakan sehingga tidak perlu menganggap pendatang baru sebagai ancaman," jelas dia.