Senin 13 Dec 2021 09:08 WIB

Muktamar NU Dinilai Perlu Bahas Iklim Demokrasi Indonesia

NU harus melihat dan membahas apakah iklim demokrasi sudah berjalan sesuai harapan

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Esthi Maharani
Kader NU melintas di dekat sejumlah foto para tokoh pendiri Nahdlatul Ulama saat diselenggarakannya Rapat Harian Syuriyah dan Harian Tanfidziyah Nahdlatul Ulama di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (7/12/2021). Rapat yang masih berlangsung hingga malam hari tersebut digelar untuk memutuskan penetapan jadwal Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Kader NU melintas di dekat sejumlah foto para tokoh pendiri Nahdlatul Ulama saat diselenggarakannya Rapat Harian Syuriyah dan Harian Tanfidziyah Nahdlatul Ulama di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (7/12/2021). Rapat yang masih berlangsung hingga malam hari tersebut digelar untuk memutuskan penetapan jadwal Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fachry Ali, menilai, Nahdlatul Ulama harus menyoroti berbagai hal pada Muktamar ke-34 mendatang. Salah satu yang perlu disoroti yakni ihwal politik nasional.

"Banyak sekali (yang harus disoroti). Yang jelas, mereka akan menyoroti perkembangan yang terjadi saat ini. Yang mungkin perlu mereka lihat adalah soal politik nasional," kata Fachry kepada Republika.co.id, Ahad (12/12).

Baca Juga

Dia menuturkan, NU harus melihat kembali dan membahas apakah iklim demokrasi di Indonesia ini sudah berjalan sesuai harapan. "Sesuai dengan yang dicita-citakan atau tidak. Jadi sebaiknya NU membicarakan itu," ujar dia.

Perlunya membahas itu, menurut Fachry, karena NU memiliki massa yang besar sebagai sebuah organisasi. Bahkan, ia menyebut NU sebagai organisasi terbesar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara.

"Penduduk Malaysia cuma 26-27 juta. Singapura cuma 5 juta. Penduduk Australia mungkin sekarang 30 juta. Maka kalau pengikutnya sampai 90 juta, itu organisasi terbesar di Asia Tenggara. Karena itu, NU harus berpikir tentang masalah politik kebangsaan, soal demokrasi," tuturnya.

Fachry juga memuji sikap tokoh NU soal pelaksanaan Muktamar ke-34 yang kini telah diputuskan tetap digelar pada 23-25 Desember. Keputusan ini menyangkut kebijakan pemerintah yang sebelumnya berencana melakukan pengetatan pada periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) di semua wilayah.

Hal itu memicu polemik di lingkungan NU dalam mengatur ulang jadwal Muktamar ke-34. Sebagian ingin jadwalnya dimajukan dari tanggal semula dan sebagian lagi ingin diundur. Namun, setelah pemerintah membatalkan pengetatan pada waktu Nataru, para tokoh NU bersepakat untuk tetap menggelar Muktamar ke-34 pada jadwal semula berdasarkan Munas-Konbes September lalu.

"Itu membuktikan NU bisa mengatasi ketegangan internal. Variabel independennya adalah PPKM. Ketika pemerintah mengatakan PPKM diturunkan pengetatannya, mereka (kalangan NU) lebih lega. Maka ketika kembali ke tanggal semula, persoalannya selesai. Jadi sebetulnya tidak murni keputusan internal dari NU, tetapi dipengaruhi oleh variabel lain, variabel pemerintah," jelasnya.

Sekretaris Panitia Pengarah Muktamar ke-34 NU, Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan, komisi-komisi Muktamar akan membahas berbagai persoalan mengenai kemandirian ekonomi dan optimalisasi pelayanan untuk kemaslahatan umat. Pembahasan persoalan ini didasaran pada tema besar Muktamar. "Kemandirian ekonomi menjadi isu utama dalam optimalisasi perkhidmatan untuk kemaslahatan, dan ini menjiwai pembahasan seluruh komisi," kata Asrorun dalam keterangan tertulis, Ahad (12/12).

Rapat tersebut, lanjut Asrorun, mengalirkan tema besar Muktamar ke seluruh komisi dan menuntaskan kerja-kerja komisi dengan penambahan masukan serta penyelarasan antarkomisi agar saling berkaitan satu sama lain. Salah satu persoalan yang dibahas oleh komisi-komisi, yakni pertanahan untuk kemaslahatan. Dalam Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, persoalan itu dibahas dari aspek keagamaannya.

"Sementara Komisi Bahtsul Masail Maudhuiyah melihatnya dari pandangan Islam atas penguasaan aset untuk kemaslahatan. Berbeda dengan keduanya, Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah membahasnya dengan pendekatan legislasi dan peraturan perundang-undangan," terang Asrorun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement