Kamis 23 Dec 2021 05:05 WIB

Salah Perlakukan Korban Kekerasan Seksual Bisa Timbulkan Trauma

Kesalahan itu yakni terlalu banyak menggali informasi yang tidak dibutuhkan.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Kekerasan Seksual (ilustrasi)
Foto: STRAITS TIMES
Kekerasan Seksual (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID, SURABAYA -- Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Margaretha Rehulina mengingatkan, salah memperlakukan korban kekerasan seksual dapat menilbulkan trauma mendalam. Menurutnya, kesalahan yang sering dilakukan orang-orang di sekitar korban kekerasan seksual di Indonesia adalah mereka terlalu banyak menggali informasi yang tidak dibutuhkan.

“Jadi kalau memang membantu korban kejahatan seksual tidak perlu bergunjing, tidak perlu mengetahui detail, karena tidak perlu semua orang tahu informasi ini. Justru keluarga harus menjaga kerahasiaan tidak perlu informasi ini dibongkar untuk semua tanpa tujuan,” kata Margaretha di Surabaya, Rabu (22/12).

Alih-alih menggali informasi detail, kata dia lebih baik memberikan dukungan. Misalkan memfasilitasi minat dan potensi korban untuk melanjutkan hidupnya, tanpa harus menggali detail traumanya apalagi mempergunjingkannya.

Margaretha melanjutkan, berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual juga fakta yang terjadi cukup miris. Pasalnya, orang terdekat seringkali tidak percaya pada cerita korban. Akhirnya si korban akan tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual tersebut.

“Jika masih terlalu kecil, dianggap ah anak-anak membuat fantasi mungkin. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong. Nah ini yang Justru malah menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan,” ujar Margaretha.

Selain mempercayai cerita korban, menurutnya yang juga perlu dilakukan adalah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan emosinya. Margaretha mengatakan, perlu dipahami berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah oleh seseorang. Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki.

“Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu,” ujarnya.

Retha mengingatkan, kondisi setiap orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya. Untuk itu, setidaknya orang terdekat harus membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional.

“Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri emosinya,” ujar Retha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement