REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN — Iran bersikeras Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya berjanji mengizinkan Teheran mengekspor minyak mentah. Setelah perundingan nuklir untuk menghidupkan kembali perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) di Wina dilanjutkan.
Dalam pidatonya Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian memberi sinyal Iran menekan posisi tersebut sebelum negosiasi. Perundingan tersebut ditunda bulan lalu setelah terjadi ketegangan karena Iran mengajukan tuntutan baru.
Pada wartawan di Teheran, Amirabdollahian mengatakan Iran ingin perundingan selanjutnya fokus pada mencapai 'titik di mana minyak Iran dapat dijual dengan mudah. "Dan tanpa halangan dan uang tiba di rekening bank-bank Iran," katanya, Senin (27/12).
Perjanjian JCPOA memberi melonggarkan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kekuatan-kekuatan besar dunia pada Iran sebagai imbalannya Teheran harus menghentikan program nuklir mereka. Tapi pada tahun 2018 lalu mantan Presiden AS Donald Trump menarik AS dari perjanjian nuklir tersebut.
Trump juga memberlakukan kembali sanksi-sanksi yang mengincar sektor finansial dan perminyakan Iran yang merupakan nadi perekonomian negara tersebut. Anjloknya ekspor minyak mentah dan batalnya kesepakatan-kesepakatan dengan perusahaan multinasional memperlemah perekonomian Iran.
Saat pihak-pihak yang terlibat dalam JCPOA menggelar perundingan di Wina. Amirabdollahian mengatakan Iran ingin menikmati 'konsesi ekonomi penuh berdasarkan kesepakatan nuklir'.
"Verifikasi dan jaminan (untuk mencabut sanksi) topik-topik yang menjadi fokus kami," kata Amirabdollahian.
Presiden Iran yang baru dari sayap konservatif, Ebrahim Raisi berulang kali meminta AS mencabut sanksi-sanksi ekonominya sebelum Iran meningkatkan kemampuan nuklirnya. Sejak AS memberlakukan kembali sanksi mereka, Teheran mengabaikan sejumlah ketentuan JCPOA.