IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri ketika pergi untuk menunaikan ibadah haji, lalu di tengah perjalanan suaminya meninggal dunia.
Apakah dia harus melanjutkan perjalanan dan menyempurnakan ibadah hajinya atau ia harus pulang ke rumahnya untuk menghabiskan masa iddahnya?
Untuk menjawab masalah itu, para ulama mempunyai beberapa pendapat yang lebih terperinci. Pendapat ini ditulis Syaikh Sa'id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar dalam kitabnya Al-Mughni. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
A. Menurut Mazhab Hanafi
Jika waktu yang diperlukan untuk menuju rumahnya lebih pendek dari masa perjalanannya, sedangkan menuju Makkah adalah satu masa perjalanan yang jauh, dia harus pulang ke rumahnya karena dianggap belum terjadi perjalanan. Sebaliknya, jika masa tempuh
ke Makkah itu lebih pendek dari masa perjalanan pulang menuju rumahnya, dia boleh terus melanjutkan perjalanannya ke Makkah.
"Karena ia tidak diharuskan atau perlu mahram dalam bepergian yang lebih dekat dari perjalanan pulang," begitu pendapat Mazhab Hanafi.
Jika jarak tempuh antara dua tempat itu (Kota Suci Makkah dan tempat tinggalnya) kurang dari satu masa perjalanan, perempuan itu boleh memilih. Jika dia memilih melanjutkan perjalanan haji, diadipersilakan.
Sebaliknya, jika dia memilih pulang, dia dipersilakan pula pulang ke rumahnya. Namun jika ia berada di suatu lokasi yang
jaraknya menuju Makkah dan rumahnya itu satu masa perjalanan atau tempat itu terletak di suatu kota/perkampungan besar, perempuan itu tidak boleh keluar dari tempat itu sampai habis masa 'iddah-nya walaupun ia mendapat mahram pengganti.
Itulah pendapat Imam Abu Hanifah, Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad, "Seandainya perempuan itu mendapatkan mahram lain, dia boleh keluar (berhaji)."
Di kalangan ulama Mazhab Hanafi, tidak ada perbedaan pendapat bahwa perempuan itu tetap tidak boleh keluar tanpa disertai mahram-nya.
Jika perempuan itu berada di padang pasir atau di suatu perkampungan yang ia sendiri merasa khawatir terhadap keselamatan diri dan harta bendanya, dia boleh melanjutkan perjalanan sampai masuk ke suatu tempat yang aman. Janganlah keluar dari lokasi aman
itu meskipun dia mendapatkan mahram baru. Itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah sendiri. Akan tetapi, menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad, perempuan itu boleh ke luar dari tempat itu jika mendapatkan mahram.
Baca juga: Mualaf Syavina, Ajakan Murtad Saat Berislam dan Ekonomi Jatuh
Demikianlah pendapat dari kalangan Mazhab Hanafi. Adapun maksud lama masa perjalanan, menurut Imam Abu Hanifah adalah masa diperbolehkan meng-qashar solat, yaitu perjalanan sekitar tiga hari.
B. Menurut Mazhab Maliki
Seorang perempuan yang berangkat haji dan di tengah perjalanan suaminya meninggal dunia, hendaknya pulang kembali ke rumahnya selama belum ber-ihram (belum mengucapkan niat menunaikan haji).
C. Menurut Mazhab Syafii
Menurut mazhab Syafii, seandainya perempuan itu telah meninggalkan bangunan tempat tinggalnya, dia boleh memilih antara.pulang kembali atau melanjutkan perjalanan hajinya karena ia sudah diizinkan suaminya bepergian (haji). Hal itu dapat disamakan jika ia telah menempuh perjalanan yang jauh.
D. Menurut Mazhab Hanbali
Menurut mazhab Hanbali, perempuan itu harus kembali seandainya masih dekat dengan rumahnya. Akan tetapi jika sudah jauh, ia boleh melanjutkan perjalanan hajinya.
Imam Al Qadi berkata bahwa dekat adalah jarak yang tidak diperkenankan melakukan qashar. Sementara jauh adalah jarak yang diperkenankan melakukan qashar.