Jumat 21 Jan 2022 09:32 WIB

Perbedaan Pendapat Menghajikan Orang yang Sudah Meninggal 

Perbedaan Pendapat Menghajikan Orang yang Sudah Meninggal wafat.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Perbedaan Pendapat Menghajikan Orang yang Sudah Meninggal. Foto: Ilustrasi Sertifikat Badal Haji
Foto: Foto : MgRol112
Perbedaan Pendapat Menghajikan Orang yang Sudah Meninggal. Foto: Ilustrasi Sertifikat Badal Haji

IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Bagaimana hukumnya menghajikan orang sudah meninggal yang ketika hidupnya belum pernah berhaji. Menurut Syaikh Sa'id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar dalam kitabnya Al-Mughnie ada empat pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat pertama, wajib bagi wali si mayit untuk mengeluarkan biaya perjalanan guna menunaikan haji atas namanya yang diambil dari harta si mayit secukupnya. 

Baca Juga

Hal itu terlepas dari hilangnya kesempatan berhaji karena faktor kelalaian atau bukan dan si mayit itu berwasiat supaya dihajikan ataupun tidak. Pendapat itu adalah pendapat Imam Syaf i, Imam Ahmad, Imam Hasan, Thawus, al Auza'i, Tsauri, Abi Gaur dan Ishaq.

Imam Ibnu Hajm berkata dalam kitabnya al Muhalla, "Pendapat seperti itu diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, Sa'id bin Musayyib, Sa'id bin Jubair, Ibrahim an Nakha'i, dan Imam Atha'. 

Adapun dasar dalil para ulama tersebut adalah:

Dari lbnu Abbas RA, "Seordng perempuan telah datang menemui Rasulullah SAW lalu ia berkata.

"Ya, Rasulullah! lbuku telah benazar akan menunaikan haji, tetapi ia tidak sempat menunaikan sampai wafatnya. Apakah aku boleh berhaji aas nama ibuku?"

Rasulullah menjawab. "Ya, berhajilah engkau atas nama ibumu! Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu punya utang, apakah engkau akan membayarnya. Bayarlah utangnya) kepada Allah SWT, karena Allah adalah Dzat yang harus dipenuhi utangnya." (Hadits Riwayat Imam Bukhari).

Kalangan ulama dari mazhab Syafi telah memerinci orang yang sudah wajib menunaikan haji, tetapi tidak sempat berhaji. Para ulama itu berkata.

"Orang seperti itu harus dilihat dulu meninggal sebelum atau sesudah punya kemampuan untuk menunaikan haji. Jika sebelum punya kemampuan, gugurlah kewajiban menunaikan haji baginya dan ia tidak wajib mengqadha. Namun jika meninggal sesudah punya kemampuan, ia wajib meng-qadha hajinya.

Imam Nawawi berkata, "Pelaksanaan haji dari mayit yang sewaktu hidup sudah punya kemampuan berhaji tetapi tidak melaksanakannya wajib diganti. Hal itu dilakukan jika ia meninggalkan harta warisan.

Jika ia tidak meninggalkan warisan, tidak wajib bagi ahli warisnya menggantikan pelaksanaan haji tersebut. Namun, boleh bagi ahli waris atau orang lain menunaikan haji atas nama si mayit terlepas ia sudah berwasiat sebelumnya atau tidak.

Pendapat kedua adalah dari Imam Ibnu Qudamah yang berkata dalam kitab al Mughni bahwa Imam Abu Hanifahl dan Imam Malik berpendapat, "Tidak boleh berhaji aras nama si mayit kecuali ia sendiri berwasiat tentang pelaksanaan haji itu. 

Biaya haji diambil dari sepertiga harta peninggalannya. Pendapat itu diriwayatkan pula Imam asy Sya'bi, Imam an Nakha'i, dan Hamad bin Abu Sulaiman.

Pendapat ketiga adalah dari pengarang kitab Aujaj Masalik yang berkata, permasalahan itu di kalangan ulama mazhab Hanafi memiliki penjelasan yang lebih rinci. Imam al Qari berkata, "Syarat keempat dalam menghajikan orang lain adalah adanya perintah sebelumnya dari si mayit untuk menunaikan haji. 

"Jadi, tidak boleh ada orang lain berhaji atas nama si mayit tanpa ada perintah darinya. Itu pun jika ia mewasiatkan supaya dihajikan." 

Jika seorang mayit sewaktu hidupnya berwasiat supaya dihajikan atas namanya, lalu ada orang lain atau pihak ahli warisnya yang sukarela menunaikan haji atas nama si mayit, hal itu tidak diperbolehkan. Sebaliknya, jika si mayit itu tidak berwasiat supaya dihajikan lalu ada ahli waris atau yang lainnya yang berderma, lantas si ahli waris berhaji untuk si mayit dengan dan dirinya sendiri atau melalui orang lain, hal itu diperbolehkan. 

Semua ketentuan itu tidak berlaku untuk haji sunah. Semua keterangan itu adalah pendapat dari mazhab Hanafi. Pengarang Aujaj Masalik telah meringkas pendapat mazhab Hanafi itu di dalam kitabnya.

Pendapat keempat, pengarang kitab Aujaj Masalik berkata, Imam al 'Ainy telah berkata, "Kesimpulan pembahasan tentang hal itu dalam kalangan mazhab Maliki dirangkum dalam tiga pendapat." Dari tiga pendapat itu, paling masyhur adalah "tidak diperbolehkan."

Pendapat kedua paling masyhur, "Boleh atas nama anak (yang meninggal itu anak kecil)." Pendapat ketiga, "Boleh jika si mayit sebelumnya berwasiat tentang haji itu." Imam an Nakha'i dan sebagian ulama salaf berpendapat.

"Tidak sah menunaikan haji atas nama si mayit dan atas nama lainnya." 

Pendapat itu diriwayatkan pula dari Imam Malik dengan tambahan, "Sekalipun si mayit itu berwasiat." 

Di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, ada pendapat dari Ibnu Umar RA bahwa ia berkata, "Seseorang tidak boleh menunaikan haji atas nama orang lain seperti tidak bolehnya berpuasa atas nama orang lain." 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement