IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Sebelum ada larangan, ibadah haji boleh dijalankan oleh kaum musyrikin. Prof M. Quraish mengatakan, larangan ini keluar sesudah tahun kesembilan Hijrah.
Larangan ini dijelaskan dalam surah at- Taubah ayat 28 yang artinya: "Hai orang-orangyang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini."
Sementara surah al-Ma’idah menurut sementara ulama turun setelah Nabi SAW. kembali dari Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzul Hijjah tahun keenam Hijrah.
Satu riwayat menyatakan bahwa larangan ini turun berkenaan dengan rencana beberapa kaum muslimin untuk merampas unta-unta yang dibawa oleh serombongan kaum musyrikin dari suku penduduk Yamamah, di bawah pimpinan Syuraih Ibn Dhubai‘ah yang digelar al-Hutham.
Prof M. Quraish Shihab mengatakan, rencana ini dengan alasan bahwa unta-unta itu adalah milik kaum muslimin yang pernah mereka rampas. Bahwa ayat di atas melarang kaum muslimin menghalangi kaum musyrikin yang akan melaksanakan haji sesuai keyakinan mereka cukup menjadi bukti betapa tinggi toleransi yang diajarkan oleh Islam.
Memang, hal itu kemudian dilarang khusus untuk memasuki kota Makkah tetapi larangan tersebut karena pertimbangan keamanan dan kesucian kota itu. Tetapi toleransi yang diberikannya kepada penganut keyakinan lain untuk mengamalkan ajaran agamanya selain di kota tersebut, tetap berlaku.
"Hingga kini kita masih mengenal kebijaksanaan-kebijaksanaan khusus yang ditempuh oleh negara-negara demokrasi dalam mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh mengunjungi kota atau tempat-tempat tertentu," katanya.
Kesepakatan negara-negara untuk mengharuskan adanya visa untuk memasuki satu wilayah adalah salah satu cermin tentang sahnya mengizinkan atau melarang seseorang memasuki satu tempat, berdasar pertimbangan kemaslahatan masing-masing negara. Menurutnya ada juga ulama yang memahami para pengunjung Baitullah yang dimaksud oleh ayat di atas, adalah kaum muslimin, bukan kaum musyrikin.
Imam Fakhruddin ar-Razi termasuk salah seorang ulama yang berpendapat demikian, dengan alasan orangan melanggar syi‘ar-syi‘ar Allah pada awal ayat ini. Syi‘ar-syi‘ar itu, tulisnya, pastilah yang direstui oleh Allah, sehingga tentu ia merupakan syi'ar kaum muslimin, bukan orang-orang musyrik.
Demikian juga akhir penggalan ayat itu yang menyatakan: "Mereka mencari karunia dan keridbaan dari Tuhan mereka"
Redaksi semacam ini, tulis ar- Razi, hanya wajar bagi orang Muslim, bukan bagi orang kafir. Hemat penulis, pendapat pertama lebih kuat. Bukan saja berdasarkan Sabab Nyul yang dikemukakan di atas, tetapi juga kenyataan sejarah yang didukung oleh teks-teks keagamaan membuktikan bahwa non-Muslim pun datang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan mereka tulus sesuai kepercayaan mereka untuk meraih ridha Allah.
Di sisi lain, apakah tergambar dalam benak bahwa pada masa turunnya larangan ayat ini ada orang beriman yang melarang kaum muslimin berkunjung ke Baitullah? Rasanya tidak mungkin. Justru yang sangat logis adalah melarang orang musyrik mengunjunginya, maka dari sini sampai ketika itu masih dilarang.
Kata syana ’an adalah kebencian yang telah mencapai puncaknya. Dari pengertian tersebut, maka firman-Nya:
"Dan janganlah sekali-kali kebencian kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Haram mendorong, kamu berbuat aniaya, merupakan bukti nyata betapa Alquran menekankan keadilan."
Musuh yang dibenci walau telah mencapai puncak kebenciannya sekalipun lantaran menghalang-halangi pelaksanaan tuntunan agama, masih harus diperlakukan secara adil, apalagi musuh atau yang dibenci tapi belum sampai ke puncak kebencian dan oleh sebab lain yang lebih ringan.