IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Syekh Abu Ali, Fudhail bin Iyadh bin Masud bin Basyar at-Tamimi lahir di daerah Muru, Khurasan. Sebelumnya dia adalah seorang perampok yang suka membegal orang, hingga pada suatu hari, dia tertarik kepada seorang wanita yang sangat cantik.
Demikian memuncak keinginannya terhadap wanita itu, sehingga dia nekat memanjat tembok rumah wanita itu, tiba-tiba terdengar olehnya suara orang yang sedang membaca Alquran surah Hadid ayat 16 yang artinya.
"Belumlah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang te-lah turun (kepada mereka)."
Ternyata, ayat tersebut menembus hati sanubarinya dan sangat memengaruhinya, sehingga dia menyadari kesalahannya selama ini. Lalu dia berkata, “Oh Tuhan, telah tiba sekarang waktunya.”
Dia pun bertobat dengan setulus-tulusnya. Lalu ketika dia hendak pulang ke rumahnya, tetapi karena hari telah larut malam, dia pun pergi ke suatu reruntuhan. Tiba-tiba, tampak olehnya serombongan musafir. Sebagian mereka berkata:
"Ayo kita berangkat."
Yang lain menjawab,“Jangan, lebih baik tunggu sampai pagi. Sebab pada malam-malam seperti inilah Fudhail si perampok menjalankan aksinya."
Mendengar percakapan mereka itu, Fudhail lalu menampakkan dirinya sambil berkata, “Akulah Fudhail. Tetapi sckarang aku tclah bertobat dan tidak akan menyamun lagi."
Setelah bertobat, Fudhail bin 'Iyadh menjadi orang yang paling abid, zuhud, dan warak.
Dia meninggal dunia di Makkah pada 187 H.Dia berkata,“Andaikan dunia dengan isinya ditawarkan kepadaku, pasti aku akan menilainya sebagaimana kalian menilai bangkai yang akan mengotori baju ketika kalian melewatinya."
Dia memiliki pembantu yang pandai bernama Ibrahim bin Al-Asyats. Darinya Ibrahim mengambil ilmu dan hadits. Selain pembantu, dia pun memiliki keledai. Fudhail berkata.
“Sungguh aku menge-tahui diriku benar-benar maksiat kepada Allah melalui buruknya perangaiku terhadap pembantu dan keledaiku.”
Fudhail juga bekerja mengurusi kesejahteraan air minum para jamaah haji di samping mengurusi kebutuhan keluarganya. Suatu hari, Fudhail bin Iyadh rah. duduk memangku anaknya yang ber-usia empat tahun.
Sesekali dia mencium pipi anak itu sebagai ungkapan rasa sayang.
“Ayah,apakah engkau mencintaiku?”
“Ya,” jawab Fudhail.
"Apakah engkau mencintai Allah?”
“Ya.”
“Berapa hati yang engkau miliki, Ayah?”
“Satu”
"Dapatkah engkau mencintai dua hal dengan satu hati?” anak itu bertanya lagi.
Saat itu pula Fudhail bin Iyadh terenyak. Dia sadar yang berbicara bukanlah anak kecilnya, melainkan Yang Mahakuasa.
Dia merasa malu kepada Allah atas kelalaiannya selama ini. Sejak saat itu dia hanya persembahkan hatinya untuk Allah.
Akhirnya Fudhail rah. menetapkan diri pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji. Ketika tiba di kota Nahrawan, dia bertemu dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah berkata,“Fudhail, aku bermimpi tentangmu.
Seolah-olah ada seruan keras kepadamu demikian: Sesungguhnya Fudhail telah takut kepada Allah dan memilih menjadi pelayan-Nya, maka perkenankanlah dia.”
Fudhail rah. langsung menjerit, “Ya Rabb! Karena kemuliaan dan keagungan-Mu, Engkau mencintai hamba yang berdosa ini yang telah hari dari-Mu selama 40 tahun"