IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie melihat wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 merupakan kreativitas politik dari sejumlah elite. Ia yakin, usulan untuk mengamandemen konstitusi untuk merealisasikan usulan tersebut akan ditolak oleh DPR dan MPR.
"Komposisi partai-partai di DPR, mayoritas tidak setuju ini penundaan, apalagi perpanjangan masa jabatan. Terutama partai pemerintah yang sudah siap berkompetisi, tidak pada mau, apalagi partai oposisi," ujar Jimly dalam sebuah diskusi daring, Ahad (13/3).
Penundaan Pemilu 2024 dengan alasan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dinilainya tak masuk akal. Mengingat pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 dan pernyataan Presiden Joko Widodo yang tegas taat pada konstitusi.
"Untuk berharap bahwa ini, apalagi ini alasannya diubah alasan ekonomi, itu juga tidak beralasan. Jadi saya rasa bukan untuk menunda serius itu, tetapi menghidupkan wacana umum ini kreativitas politik saja," ujar Jimly.
Ia juga berkaca kepada negara lain yang berhasil menggelar pemilihan presiden (Pilpres) di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya adalah Korea Selatan yang telah melakukan Pilpres pada awal Maret lalu.
"Di India mulai Februari kemudian Maret, sebagai negara demokrasi terbesar lancar saja itu pemilihan local election di beberapa negara bagian. Itu berjalan dan sekarang ini masih perhitungan suara di beberapa negara bagian," ujar Jimly.
"Tidak ada juga wacana tunda-menunda begini, sama-sama pandemi, dia (India) banyak yang mati daripada kita, India itu lebih banyak," sambungnya.
Kendati demikian, ia melihat tren perpanjangan masa jabatan pemimpin negara terjadi mulai 1990-an. Namun, hal tersebut terjadi pada negara-negara yang notabenenya memiliki demokrasi yang lemah dan tak bermutu.
"Banyak negara yang memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode, di Afrika banyak itu, tapi banyak yang berhasil, banyak juga yang berdarah-darah, gagal. Tapi negara-negara yang menerapkan third termism tiga periode itu tergolong demokrasi yang tidak bermutu," ujar Jimly.
Nawir Arsyad Akbar