IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah faktor mengapa kriteria Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dalam penentuan awal bulan Hijriah, perlu diterima berbagai kalangan umat Muslim Indonesia.
Hal itu diungkap Peneliti Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Thomas Djamaluddin kepada Republika.co.id, Selasa (15/3/2022)
Pertama, Thomas mengatakan, kriteria MABIMS dibangun atas dasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang. Kedua, parameter yang digunakan dalam kriteria MABIMS adalah parameter yang biasa digunakan oleh para ahli hisab Indonesia, yaitu ketinggian hilal dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari).
"(Ketiga), parameter yang digunakan menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal. Elongasi menggambarkan ketebalan fisis hilal. Semakin besar nilai elongasi, berarti hilal semakin tebal," ujar anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kemenag itu.
Sedangkan ketinggian hilal, lanjut Thomas, menggambarkan efek gangguan cahaya senja karena faktor atmosfer. Bila ini semakin tinggi, maka efek gangguan makin berkurang.
Keempat, dalam kriteria MABIMS, ketinggian minimal 3 derajat didasarkan pada data global. Artinya, hilal yang tingginya di bawah 3 derajat tidak terlihat karena gangguan cahaya senja yang masih kuat.
Kelima, elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor bulan terdekat sebagaimana yang dilaporkan dalam makalah Mohammad Shawkat Odeh, salah seorang tokoh falak Internasional. "Elongasi yang kurang dari 6,4 derajat terlalu tipis dan redup untuk mengalahkan cahaya senja," papar Thomas.
Terakhir, menurut profesor riset Astronomi-Astrofisika Lapan-BRIN itu, kriteria baru MABIMS yang dibangun dengan data rukyat dan dianalisis secara hisab merupakan titik temu bagi pengguna metode rukyat seperti NU dan pengguna metode hisab seperti Muhammadiyah.