IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Pertama kalinya setelah dua tahun pandemi Covid-19, ibadah haji akan digelar untuk jamaah internasional. Kerajaan Arab Saudi sudah mengumumkan kuota jamaah dari setiap negara, termasuk Indonesia 100.051 jamaah yang terdiri dari 92.825 haji reguler dan 7.226 haji khusus.
Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sembilan hari di bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar Hari Raya Kurban. Apabila ada yang melaksanakan ihram dengan niatan haji selain pada periode tersebut, maka ibadahnya menjadi umroh. Sebab, sepanjang tahun merupakan waktu pelaksanaan umroh.
Sama seperti ibadah lain, haji juga memiliki syarat haji. Imam Al-Ghazali mengatakan dalam buku Rahasia Haji dan Umroh terbitan Turos, syarat haji ada dua, yaitu Islam dan dilaksanakan sesuai waktunya.
Adapun syarat-syarat terhitungnya haji sebagai haji Islam (haji fardu) ada lima. Yakni, Islam, merdeka, balig, berakal, dan dilaksanakan sesuai waktunya. Ketika anak kecil atau hamba sahaya melaksanakan ihram lalu anak kecil itu menginjak balig dan hamba sahaya dimerdekakan ketika berada di Arafah atau Muzdalifah lalu kembali ke Arafah sebelum terbtit fajar, maka haji mereka termasuk haji fardu. Karena haji adalah wukuf di Arafah.
Sementara itu, syarat terhitungnya haji sebagai haji sunah dari orang yang berstatus merdeka dan balig adalah setelah bebas tanggungannya dari haji fardu. Yang didahulukan adalah haji fardu, haji qadha’ bagi orang yang merusak ibadah hajinya saat wukuf, haji nadzar, haji badal, dan haji sunah.
Sedangkan syarat yang mewajibkan haji ada lima, yaitu balig, Islam, berakal, merdeka, dan mampu. Apabila seseorang sudah melaksanakanh haji fardu, dia juga wajib melaksanakan umroh fardu.
Mampu dalam syarat ini terbagi menjadi dua. Pertama, mampu secara langsung, seperti sehat jasmani rohani dan mampu menyelenggarakan perjalanan (perjalanan yang aman dan lancar). Lalu mampu karena hartanya cukup dengan membawa perbekalan dan meninggalkan nafkah untuk mereka selama masa ibadahnya serta melunasi semua utangnya.
Syarat kedua, yaitu kemampuan orang lumpuh dengan hartanya yang cukup. Yakni, dengan membiayai orang untuk melaksanakan haji dengan mengatasnamakan dirinya setelah orang itu selesai menunaikan haji Islamnya. Dia cukup membiayai keberangkatannya. Siapa saja yang sudah mampu, maka wajib melaksanakan ibadah haji.